
Ada genangan kristal sebening embun kulihat di kedua mata tuanya yang tak henti-henti menatap layar kaca.
"Pengibaran Bendera Merah Putih"
Suara protocol upacara pengibaran bendera di Istana Negara terdengar merdu menggelegar
Barisan paskibraka berderap maju. Gagah sekali.
“Sstt.. Anaknya yang mana?” Mas Rian berbisik di telingaku. Aku menggeleng sambil menaikkan jari telunjuk ke bibir, “Jangan berisik!”
Dulu aku pernah bermimpi, menjadi salah satu yang berdiri dengan bangga di dalam barisan itu. Berderap-derap maju di hadapan Presiden, para menteri, dan tamu kenegaraan. Tapi ada daya, mimpi tinggallah mimpi. Seleksi paskibra saat SMA saja tidak lolos. Huufh.. aku menghela nafas.
Kami melanjutkan menonton televisi. Lelaki tua itu tak sedikitpun bersuara. Hanya mulutnya yang menyunggingkan senyum tipis. Kedua tangannya erat memegang ujung celana pendeknya yang lusuh.
***
“Terima kasih ya Bu.. saya sudah diijinkan ikut menonton di sini, “ senyumnya lebar sekali saat mengatakan itu. Aku dan mas Rian mengangguk.
“Ini Pak, ongkos naik becaknya,” kataku sambil mengangsurkan selembar dua puluh ribuan.
“Oh..nggak usah Bu, nggak usah!” lelaki tua itu mengibas-ngibaskan kedua tangannya.
“Tapi Pak…”
“Nggak usah, Bu, Pak,”
“Saya terima kasih sekali sudah diijinkan nonton TV di sini. Jadi saya bisa melihat anak saya mengibarkan bendera di istana, “ katanya kemudian.
Kami memandangnya saat lelaki tua itu mengayuh becaknya perlahan-lahan. Mendung menggelayut. Semoga tidak hujan, pikirku. Tiba-tiba lelaki itu berhenti. Dia berpaling kepada kami, “ Putri saya tadi cantik sekali,” katanya.
Kupikir, matakulah yang mulai gerimis.
*jumlah kata+judul = 235
*ditulis dalam rangka menyemarakkan lomba FF
*FF yang lain:
- tema Ramadhan
- teman Ayah dan Anak