Kamis, 25 Agustus 2011

Lebaran dan cokelat


Tadi, Ibu Direktur keluar ruangan, dan lewat depan meja. Eeeh, tiba-tiba: "Nih, kartu ucapan buat Andiah"

Pas diliat isinya, dapet cokelat dari dapur cokelat. Tahun kemaren juga dapet cokelat dari tempat yang sama. Tapi, yang ngasih beda. Asiiikk, bisa buat cemil-cemil di jalan nih :p


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Selasa, 23 Agustus 2011

Curhat Bumil

Udah lama ternyata nggak nulis jurnal di MP. Sebenarnya banyak draft di hp, juga di MP. Tulisan-tulisan yang setengah jadi. Tapi selalu aja ada alasan untuk tidak mempostingnya.

Sekarang, bumil ini sedang memasuki bulan ketiga masa kehamilan. Tapi, satu yang jadi ganjalan, Saya kok nggak gendut-gendut ya?? Pernah salah satu mbak kantor bilang gini: "Kamu kok masih langsing sih?" Huwaa..jadi nggak pede. Memang si, kehamilan pada tiap orang berbeda-beda. Ada yang pas hamil langsung menggendut, ada juga yang tetep kurus dan langsing, perutnya aja yang membesar. Sempat cemas-cemas gimanaa gitu. Apalagi mbak-mbak yang sama usia kehamilannya di kantor, udah mulai keliatan lebih berisi.

Tapi kecemasan itu menghilang, pas check terakhir ke dokter. Ternyata, bb naik 1 kilo. Dan pas di USG, Alhamdulillah, si Dedek sehat di dalam sana. Perkembangannya sesuai umur. Dan lagi semangat koprol, jungkir-balik, muter-muter di dalam perut. Biarpun belum bisa dirasakan sama bundanya. Eh tapi, tensinya rendah. Kata mbak perawatnya, tensi Ibu hamil memang rata-rata rendah. Nah, kalo 90/70, itu termasuk rendahkah? Makanya dikasih obat yang berbeda dari sebelumnya sama Bu Dok, yang harganya lumayan mahal. Check kemarin itu, sempat bikin syok juga, haha. Bayar 2x lipat dari bulan lalu, karena obat penambah kalsium itu.

Trus, curhat yang lainnya lagi. Lusa otu, saya sekeluarga mau mudik. Sekeluarga itu artinya saya + suami. Dan saya galau menjelang mudik. Pasalnya, selama ini saya sering banget teler, ngedrop. Rasanya teler itu? Kayak orang lagi kena thypus. Badan panas, dan nggak berdaya buat ngapa-ngapain. Maunya tiduran aja. Kalau di rumah, biasanya saya atasi dengan tiduran berjam-jam. kalau di kantor, mau nggak mau harus saya tahan sampai jam pulang kantor. kadang numpang teler di mushola kantor. Lemas berlebihan, itu normal nggak sih buk?

Nah, karena besok pas mudik saya cuma berdua sama suami. Dan kami harus melewati perjalanan kurang lebih 12 jam (kalau lancar), saya takut aja tiba-tiba teler di jalan. Suami si bilang, kalau saya nggak kuat, istirahat aja di belakang. Tapi masa iya saya biarkan suami nyetir sendiri? lagian, dia paling nggak bisa ditinggal tidur. Dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, kalau saya tidur, atau ketiduran, bangunnya pasti menemukan kami sedang berhenti di tepi jalan, dalam keadaan tidur dua-duanya. hadeuuuh

Satu lagi. Sepertinya saya harus siap sedia kantong kresek. Takutnya nanti hoek-hoek di jalan

Mudik, sebenarnya momen yang paling ditunggu-tunggu. Mengingat sudah sejak 2 minggu yang lalu saya nangis-nangis di telepon minta pulang. Pengen dimanja dan dirawat sama orang tua *dasar anak manja! Tapi membayangkan proses mudiknya... udah keder duluan. Ya Allah, sehatkanlah kami besok. Itu doa saya


Fuuh...
udahan ah curhatnya

_bumi galau di pagi hari_


Jumat, 12 Agustus 2011

Passport

Beberapa menit yang lalu, saya menerima email dari teman kantor. Forward-an juga rupanya. Kisah yang menginspirasi. Semoga bermanfaat :)

---



(Jawapos 8 Agustus 2011)

Setiap saat mulai perkuliahan, saya selalu bertanya kepada mahasiswa berapa  orang yang sudah memiliki pasport. Tidak mengherankan, ternyata hanya  sekitar 5% yang mengangkat tangan. Ketika ditanya berapa yang sudah pernah naik pesawat, jawabannya melonjak tajam. Hampir 90% mahasiswa saya sudah pernah melihat awan dari atas. Ini berarti mayoritas anak-anak kita hanyalah pelancong lokal.

Maka, berbeda dengan kebanyakan dosen yang memberi tugas kertas berupa PR dan paper, di kelas-kelas yang saya asuh saya memulainya dengan memberi tugas mengurus pasport. Setiap mahasiswa harus memiliki "surat ijin memasuki dunia global.". Tanpa pasport manusia akan kesepian, cupet, terkurung dalam kesempitan, menjadi pemimpin yang steril. Dua minggu kemudian, mahasiswa sudah bisa berbangga karena punya pasport. Setelah itu mereka bertanya lagi, untuk apa pasport ini? Saya katakan, pergilah keluar negeri yang tak berbahasa Melayu. Tidak boleh ke Malaysia, Singapura, Timor Leste atau Brunei Darussalam. Pergilah sejauh yang mampu dan bisa dijangkau.

"Uang untuk beli tiketnya bagaimana, pak?"

Saya katakan saya tidak tahu. *Dalam hidup ini, setahu saya hanya orang bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup, apalagi memulai misi kehidupan dan tujuannya dari uang. *Dan begitu seorang pemula bertanya uangnya dari mana, maka ia akan terbelenggu oleh constraint. Dan hampir pasti jawabannya hanyalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak mungkin. Pertanyaan seperti itu tak hanya ada di kepala mahasiswa, melainkan juga para dosen steril yang kurang jalan-jalan. Bagi mereka yang tak pernah melihat dunia, luar negeri terasa jauh, mahal, mewah, menembus batas kewajaran dan buang-buang uang. Maka tak heran banyak dosen yang takut sekolah ke luar negeri sehingga memilih kuliah di almamaternya sendiri. Padahal dunia yang terbuka bisa membukakan sejuta kesempatan untuk maju. Anda bisa mendapatkan sesuatu yang yang terbayangkan, pengetahuan, teknologi, kedewasaan, dan wisdom.

Namun beruntunglah, pertanyaan seperti itu tak pernah ada di kepala para pelancong, dan diantaranya adalah mahasiswa yang dikenal sebagai kelompok backpackers. Mereka adalah pemburu tiket dan penginapan super murah, menggendong ransel butut dan bersandal jepit, yang kalau kehabisan uang bekerja di warung sebagai pencuci piring. Perilaku melancong mereka sebenarnya tak ada bedanya dengan remaja-remaja Minang, Banjar, atau Bugis, yang merantau ke Pulau Jawa berbekal seadanya.Ini berarti tak banyak orang yang paham bahwa bepergian keluar negeri sudah tak semenyeramkan, sejauh, bahkan semewah di masa lalu.

Seorang mahasiswa asal daerah yang saya dorong pergi jauh, sekarang malah rajin bepergian. Ia bergabung ke dalam kelompok PKI (Pedagang Kaki Lima Internasional) yang tugasnya memetakan pameran-pameran besar yang dikoordinasi pemerintah. Disana mereka membuka lapak, mengambil resiko, menjajakan aneka barang kerajinan, dan pulangnya mereka jalan-jalan, ikut kursus, dan membawa dolar. Saat diwisuda, ia menghampiri saya dengan menunjukkan pasportnya yang tertera stempel imigrasi dari 35 negara. Selain kaya teori, matanya tajam mengendus peluang dan rasa percaya tinggi. Saat teman-temannya yang lulus cum-laude masih mencari kerja, ia sudah menjadi eksekutif di sebuah perusahaan besar di luar negeri.

* The Next Convergence*

Dalam bukunya yang berjudul The Next Convergence, penerima hadiah Nobel ekonomi Michael Spence mengatakan, dunia tengah memasuki Abad Ke tiga dari Revolusi Industri. dan sejak tahun 1950, rata-rata pendapatan penduduk dunia telah meningkat dua puluh kali lipat. Maka kendati penduduk miskin masih banyak, adalah hal yang biasa kalau kita menemukan perempuan miskin-lulusan SD dari sebuah dusun di Madura bolak-balik Surabaya-Hongkong.  Tetapi kita juga biasa menemukan mahasiswa yang hanya sibuk demo dan tak pernah keluar negeri sekalipun. Jangankan ke luar negeri, tahu harga tiket pesawat saja tidak, apalagi memiliki pasport.Maka bagi saya, penting bagi para pendidik untuk membawa anak-anak didiknya melihat dunia. Berbekal lima ratus ribu rupiah, anak-anak SD dari Pontianak dapat diajak menumpang bis melewati perbatasan Entekong memasuki Kuching. Dalam jarak tempuh sembilan jam mereka sudah mendapatkan pelajaran PPKN yang sangat penting, yaitu  pupusnya kebangsaan karena kita kurang urus daerah perbatasan. Rumah-rumah kumuh, jalan berlubang, pedagang kecil yang tak diurus Pemda, dan infrastruktur yang buruk ada di bagian sini. Sedangkan hal sebaliknya ada di sisi seberang. Anak-anak yang melihat dunia akan terbuka matanya dan memakai nuraninya saat memimpin bangsa di masa depan. Di universitas
Indonesia, setiap mahasiswa saya diwajibkan memiliki pasport dan melihat minimal satu negara.

Dulu saya sendiri yang menjadi gembala sekaligus guide nya. Kami menembus Chiangmay dan menyaksikan penduduk miskin di Thailand dan Vietnam bertarung melawan arus globalisasi. Namun belakangan saya berubah pikiran, kalau diantar oleh dosennya, kapan memiliki keberanian dan inisiatif? Maka perjalanan penuh pertanyaan pun mereka jalani. Saat anak-anak Indonesia ketakutan tak bisa berbahasa Inggris, anak-anak Korea dan Jepang yang huruf tulisannya jauh lebih rumit dan pronounciation-nya sulit dimengerti  menjelajahi dunia tanpa rasa takut. Uniknya, anak-anak didik saya yang sudah punya pasport itu 99% akhirnya dapat pergi keluar negeri. Sekali lagi, jangan tanya darimana uangnya. Mereka memutar otak untuk mendapatkan tiket, menabung, mencari losmen-losmen murah, menghubungi sponsor dan mengedarkan kotak sumbangan. Tentu saja, kalau kurang sedikit ya ditomboki dosennya  sendiri.

Namun harap dimaklumi, anak-anak didik saya yang wajahnya ndeso sekalipun kini dipasportnya tertera satu dua cap imigrasi luar negeri. Apakah mereka anak-anak orang kaya yang orangtuanya mampu membelikan mereka tiket? Tentu tidak. Di UI, sebagian mahasiswa kami adalah anak PNS, bahkan tidak jarang mereka anak petani dan nelayan. Tetapi mereka tak mau kalah dengan TKW yang meski tak sepandai mereka, kini sudah pandai berbahasa asing. Anak-anak yang ditugaskan ke luar negeri secara mandiri ternyata memiliki daya inovasi dan inisiatif yang tumbuh. Rasa percaya diri mereka bangkit. Sekembalinya dari luar negeri mereka membawa segudang pengalaman, cerita, gambar dan foto yang ternyata sangat membentuk visi mereka. Saya pikir ada baiknya para guru mulai membiasakan anak didiknya memiliki pasport. Pasport adalah tiket untuk melihat dunia, dan berawal dari pasport pulalah seorang santri dari Jawa Timur menjadi pengusaha di luar negeri. Di Italy saya bertemu Dewi Francesca, perempuan asal Bali yang memiliki kafe yang indah di Rocca di Papa. Dan karena pasport pulalah, Yohannes Sury mendapat bea siswa di Amerika Serikat. Ayo, jangan kalah dengan Gayus Tambunan atau Nazaruddin yang baru punya pasport dari uang negara.

*Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia *