Senin, 26 September 2011

Perjalanan menemukan rumah idaman (bagian 1)



Semenjak awal menikah, saya dan suami sudah bertekad kalau kita hanya akan mengontrak selama 1 tahun. Itu sebabnya, beberapa bulan setelah pernikahan, kami mulai berburu mencari rumah. Tapi, ternyata mencari tempat tinggal permanen itu sulitnya berkali lipat dibandingkan dengan hanya mencari kontrakan. Akhirnya kami menyerah. Kelelahan. Tidak kunjung menemukan rumah yang cocok di hati dan cocok di kantong. Akhirnya, sampai 1 tahun kemudian, kami masih ngontrak, sekarang bahkan sudah memperpanjang kontrkan untuk satu tahun ke depan. Mission failed.

Beberapa minggu belakangan, kami kembali gencar mencari sang pelabuhan hati. Kembali ke saat beberapa bulan yang lalu, kami mulai lagi dari awal. Browsing internet, survey, tanya ke orang-orang, meminta bantuan saudara, mulai kami lakukan lagi. Dengan modal 1 tahun ke depan kontrakan, kami berharap bisa menemukan rumah yang cocok bagi kami. Dengan mempertimbangkan juga bahwa, 1 tahun lagi, anak kami baru akan berumur kurang lebih 5 bulan.

Berbagai pertimbangan dipikirkan dalam pencarian ini. Selain harga, yang tentunya diperhitungkan pertama kali, hal-hal lain yang menjadi pertimbangan kami adalah:

1.    Lokasi/daerah yang akan diambil, apakah akan mengambil rumah di kota Jakarta, ataukah daerah pinggiran. Kami berdua putuskan, untuk mengambil rumah di kota satelit (Depok, Tangerang, Bekasi, Cibubur, Bogor). Selain harga rumah di sana masih terjangkau, kami juga menginginkan lingkungan yang sedikit lega dan lapang, tidak seperti di Jakarta Pusat yang padat, dan ramai. Beli rumah di pusat sebenarnya bisa-bisa saja. Masih ada kok, rumah yang terjangkau harganya di tengah kota, asalkaann, mau berbagi halaman dengan tetangga. Yup. Biasanya, rumah-rumah dalam kota yang harganya masih bisa dijangkau itu rumah-rumah yang ada di dalam gang. Rumahnya sendiri, rata-rata bagus kok, tapi ya itu, mobil tidak bisa masuk, susah cari parkir, dan harus tahan dengan keramaian (pengalaman sendiri tinggal di perumahan padat penduduk). Untuk rumah yang ada di tepi jalan raya, harganya sudah milyaran, meskipun itu rumah lama (bukan golongan rumah mewah).

2.    Akses menuju pusat kota Jakarta. Dengan pemilihan daerah perumahan yang jauh dari pusat, dan berhubung kami berdua berkantor di pusatnya Jakarta, kami pun harus memikirkan akses menuju pusat kota. Pertimbangan itu antara lain: ada tidaknya jalan tol, dan ada tidaknya stasiun kereta. Jalanan dalam kota tentu saja tidak bisa dijadikan patokan jauh-dekat karena dimana-mana sekarang sama saja permasalahannya: macet. Selain tol dan kereta, adanya transportasi umum yang mudah, misalnya bis dari daerah tersebut yang masuk tol langsung ke pusat kota, atau ada tidaknya jemputan kantor di daerah tersebut, alih-alih beragam metromini, angkot, atau bus yang harus berkali-kali ganti untuk sampai di tujuan, tentu menjadi pertimbangan selanjutnya.

3.    Sampai di kedua pertimbangan tadi, kami akhirnya memantapkan diri untuk mencari rumah di kisaran daerah Jakarta Selatan-Tangerang. Mungkin di daerah Bintaro, Serpong, Pamulang, Alam Sutera, atau Tangerang. Kalau menuruti keinginan, sebenarnya saya ingin di daerah Bintaro, menngingat daerah itu adalah jajahan semasa kuliah. Tapii, Bintaro adalah daerah mahal. Jadi kami tidak terlalu memaksakan diri untuk mendapatkan rumah di sana. Walaupun begitu, kami masih belum mengeliminasinya dari daftar pilihan. Untuk daerah Bekasi, saya entah kenapa merasa tidak cocok  berada di sana. Saya pernah sekali jalan ke sana, dan kapok, huhuhu... Kata orang, mencari rumah itu ibarat mencari jodoh, dan sepertinya, saya tidak berjodoh dengan Bekasi. Bogor, sejak awal tidak menjadi pilihan, karena saya belum pernah mengalami perjalanan dari Bogor ke Jakarta Pusat. Orang kantor bukannya tidak ada yang bertempat tinggal di Bogor. Ada, tetapi tidak banyak. Sebagian dari mereka mengandalkan kereta untuk pulang pergi, sebagian lagi dengan jemputan. Cibubur. Hampir setiap bulan saya ke sana, ke rumah kakak ipar. Dan hal lain selain jauhnya jarak antara Cibubur-Jakarta Pusat, yang menjadi alasan untuk tidak memilih Cibubur sebagai tempat tinggal adalah: macet. Setiap hari Cibubur macet. Entah pada hari kerja biasa, ataupun saat weekend. Memang dulu sempat mencari-cari di daerah sana, tapi akhirnya kami putuskan untuk mengeliminasinya saja. Depok sebenarnya pernah kami jelajahi berdua saat pencarian pertama beberapa bulan lalu. Saya menginginkan daerah rumah tinggal yang asri, dan saya pikir Depok adalah tempat yang cocok. Tapi entah kenapa, kami berdua berubah pikiran pada pencarian kedua ini. Akses ke Depok hanyalah kereta. Tidak ada jalan tol. Kalau keretanya mogok, alamat saya bakal telat pergi ke kantor. Jadi pada akhirnya, kami putuskan untuk mencari sekitaran Jakarta Selatan-Tangerang, yang punya akses tol (Serpong dan Alam Sutera), maupun jalur kereta api.

4.    Setelah menentukan cakupan wilayah kami akan tinggal, kami pun memulai pencarian selanjutnya. Dan pertimbangan lain pun bermunculan: apakah daerah perumahannya bebas banjir, apakah air mudah, bagaimana fasilitas umum yang ada di sana, dan lain sebagainya. Untuk sementara kami masih mengandalkan informasi dari mana saja. Dan semakin membaca, semakin banyak mencari tahu di internet, maka semakin bingunglah kami. Ada yang bilang, kalau untuk mencari rumah pertama kali, jangan andalkan internet, karena itu akan membuat kita semakin bingung. Tapi saya rasa, kita dapat mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari mana saja. Apalagi untuk pemula seperti kami, yang tidak tahu-menahu tentang agen properti, dkk-nya. Jadi kamipun mengumpulkan informasi dari internet, teman, saudara, brosur-brosur, dan survey kecil-kecilan kami sendiri.

Untuk sementara ini, sepertinya baru itu saja lika-liku pencarian rumah idaman. Semoga jurnal tentang ini tidak berhenti sampai di tengah jalan. Dan semoga, kami dapat segera bertemu dengan jodoh kami :D

*menanti tanggapan dari temen-temen MP. Siapa tau ada yang berkenan memberikan informasi, masukan, pengalaman, ataupun tips n trik mencari rumah ;)

Kamis, 22 September 2011

Bukan air mata buaya :D



Kemarin malam, pas lagi nonton tivi berdua, tiba-tiba misua bilang: "Dedeknya diputerin lagu Ndaa.."

Baiklah, kalau diputerin lagu, itu artinya adalah, setel lagunya Vina Panduwinata yang berjudul 'Anakku' Volume tivi dikecilin, dan kita berdua dengerin lagu itu sambil tiduran di depan tivi.

Suami merem-merem. Secara sebelumnya dia bilang kalau ngantuk. Dan kita berdua mendengarkan sambil menghayati itu lagu. Semenit, dua menit... "Ayah inget dedek Azka...", katanya.

Lalu, tak lama kemudian, bibirnya bergerak-gerak ke bawah 2 mili. Habis itu diem. Bergerak lagi. Diem. Matanya melek sedikit. Dimeremin lagi. Melek lagi. Dan dia berkaca-kaca. Matanya memerah. Habis itu merem lagi. Dan keluarlah buliran bening itu.

Huwaaa...
Yang tadinya nggak kenapa-napa, jadi ikut-ikutan nangis deh, karena liat misua meneteskan air mata. Akhirnya, malah aku yang terisak-isak.

Habis adegan mengharukan itu, dan setelah lagunya selesai, misua langsung bangkit dengan gagah berani, nggak ada sedih-sedih lagi, dan melanjutkan aktivitasnya :D

Selasa, 13 September 2011

Bakwan



"Waah, rasanya sama persis kayak yang di rumah Temanggung!" kata suamiku antusias.

"Udah berhasil nyontek resep mertua nih" katanya lagi

"Masa?" tanyaku sangsi. Siapa tau cuma bercanda doang.

"Iya, jadi berasa di rumah"

Isteri mana siih, yang nggak seneng suaminya memuji makanan buatannya? (yaah, kalau yang tadi bisa disebut memuji). Siapa juga yang nggak seneng dibilang 'sudah berhasil nyontek resep mertua'? Apalagi dibilang makanannya itu membuat suami berasa lagi di rumah. Seneng banget dong pastinya, hihihi. Yah, meskipun makanannya itu hanya berupa sepiring bakwan (huuuu...penonton kecewa). Asli. Walaupun yang dipuji hanyalah bakwan, tapi itu sudah cukup membuatku senang dan bertekad akan memasak dengan rajin.

Nggak sia-sia juga rupanya aku ikut turun ke dapur membantu ibu mertua tercinta masak di akhir-akhir bulan puasa kemarin. Jadi, bisa sekaligus mengintip resep asli masakan beliau yang aku juga doyaan (kasihan sekali suamiku. Semasa kecil sampai remaja, didampingi oleh ibu yang pintar memasak. Giliran udah nikah, isterinya gagap masak, huahua)

Sebenarnya, masakan ibu mertua yang jadi favorit suami, dan belakangan jadi favoritku juga adalah brongkos kepala kambing. Ada yang tau? Ada yang pernah coba? Pertama kali aku ikut mencicipi masakan itu adalah saat unduh mantu dulu, waktu nginep di rumah mertua pertama kalinya sesudah menikah. Rasanya kayak apa ya?? Emm.. yang jelas, isinya bukan daging, karena dibuatnya dari kepala kambing. Maknyuss deh. Dan pedesnya itu, bikin sensasi tersendiri di mulut dan perut, hahaha

Pengen banget kapan-kapan bisa menyajikannya ke meja makan sendiri, mengingat suami yang hobi dan selalu request masakan itu setiap pulang ke Temanggung. Tapii, darimana bisa dapetin kepala kambing? Dan lagi, kami nggak punya alat presto (alesan).

Yaa, untuk kali ini, sepiring bakwan dulu yang resepnya aku contek dari mertua. Nanti, semoga dapat kesempatan lain buat belajar resep makanan favorit suami. Rasa-rasanya, kalau setiap masak dikasih pujian kayak di atas, aku bakal jadi rajin masak deeh. Hidup masaaakk!!


Senin, 12 September 2011

Surat untuk suamiku (first anniversary)





Teringat satu tahun lalu, saat kudengar suaramu di ruang tamu rumahku
pagi itu, dadaku berdegup lebih kencang dari biasanya
Pagi itu, aku penasaran ingin keluar kamar
sekedar ingin tau, bagaimana mereka merias wajahmu
Pagi itu, hari pernikahan kita


Lalu kita duduk di pelaminan
menebarkan senyum sepanjang hari kepada mereka yang datang
Bagaikan raja, dan ratu
menerima ucapan selamat dan doa bertubi-tubi
Hari itu, aku merasa menjadi orang paling bahagia di seluruh dunia
:)


Hari-hari kita bukan tanpa masalah
tidak jarang aku menangis karena hal-hal sepele
padahal tidak pernah sekali pun kau marah padaku
tangiskulah, yang biasanya akan membangkitkan marahmu
lalu kita pun akan berdiam sepanjang hari
dan aku menangis lagi
lalu datang kepadamu untuk meminta maaf


Aku mencintaimu
Saat kita bercanda melepas penat sepulang rutinitas yang terlihat membosankan
Menonton televisi bersama, sembari makan malam berdua
tidak ada yang romantis
tapi aku suka


Aku mencintaimu
Meskipun kau melupakan momen-momen spesial
Meskipun aku ngambek
Aku tetap mencintaimu


Aku mencintaimu
Saat badai datang menerjang
Dan tangisku pecah tak tertahan
Calon anak kita telah pulang
Kita mungkin menyesal
Aku tetap mencintaimu


Aku mencintaimu
Meski kadang aku tidak menghadiahimu senyuman
Saat kau pulang tengah malam dan kelelahan
Hey, aku juga ingin diperhatikan
Hey, kenapa kau selalu menomorsatukan pekerjaan?
...
Dan walaupun begitu, tidak pernah sikapku kau permasalahkan
Dengan pakaian kerja kau sapa aku yang tidur memunggungi pintu
'Maafin Ayah ya, udah pulang malam'
Katamu dengan wajah bersalah
sambil mengusap keningku
Sungguh aku mencintaimu


Aku semakin mencintaimu
Setiap kali kulihat kau tertidur di sebelahku
Wajahmu yang tirus
Tubuhmu yang kurus
Lalu kuingat kata-katamu malam itu:
'Ayah kerja sampe malem, biar Nda sama Dedek nggak hidup susah'
Aku berjanji aku akan selalu mencintaimu


Aku mencintaimu..
Sampai tahun-tahun yang akan datang
Meskipun badai yang lebih besar bisa tiba-tiba menerjang
Aku berjanji akan selalu mencintaimu



Teruntuk suamiku, terima kasih untuk satu tahun yang telah begitu berarti...



Kuatkanlah ikatannya
kekalkanlah cintanya
tunjukilah jalan-jalannya
terangilah dengan cahyaMu
yang tiada pernah padam
Ya Robbi, bimbinglah kami...



*menuju 18 September
kalau udah weekend bakal nggak sempet ngenet, makanya diposting sekarang





**picture from here