Kamis, 29 Desember 2011

Buah untuk Ibu Hamil




Semalem ada yang berkunjung
bawa buah-buahan banyaak
Alhamdulillaah...
^_^

*postingan iseng

Minggu ke-30: Tensi naik



Bulan Desember. Sudah saatnya kembali cek ke dokter kandungan. Kunjungan kali ini sebenarnya agak terlambat, mengingat 2 minggu yang lalu sudah mendaftarkan diri untuk cek, tapi ternyata saya dan suami tidak bisa datang. Akhir pekan kemarin juga sudah mendaftarkan diri, tapi kali itu dokternya yang tidak bisa karena cuti.

Akhirnya, karena ingin secepatnya, saya pun memutuskan untuk kontrol kandungan Rabu malam. Satu-satunya jadwal ibu dokter bersangkutan selain hari Sabtu pagi, dimana kami biasa datang.

Berangkat dari kantor jam 7 malam. Waktu telepon 2 hari sebelumnya dapat nomor antrian 26. Dan oleh susternya diperkirakan bakal kena giliran sekitar jam setengah sembilan malam. Lapangan Banteng-Tambak sebenarnya tidak jauh. Tapi jalanan sepanjang Salemba samapai Matraman biasanya macet pada jam pulang kantor. Benar saja, sampai di sana sekitar setengah jam kemudian. Langsung menuju kedai ayam goreng di sebelahnya karena sudah kelaparan. Sekitar jam setengah delapan lebih baru masuk RSIA Tambak untuk ngantri.

Eh tapi, kok sepi yaa? Waah, bakal dapet giliran cepet nih. Padahal waktu ngambil antrian di meja depan masih ada setumpuk nomer lumayan banyak. Tapi ternyata sampai seluruh proses selesai malam tadi, saya jadi pasien paling akhir. Mungkin sebagian tidak datang. Maklum, hari kerja dan sudah malam.

Begitu duduk di kursi tunggu, tidak lama kemudian dipanggil untuk cek tekanan darah dan berat badan. Sapertinya saya satu-satunya pasien di ruangan itu. Mbak-mbak sebelumnya sudah naik ke ruangan atas.

Ditimbang berat badan, 59 kg. Naik 3,5 kilo dari berat badan sebelumnya, dan 11 kilo dari berat badan awal kehamilan. Dicek tensi, 130/90. “Hmm…. Kok agak tinggi ya? Ibu barusan banget dateng ya?” tanya perawat. ”Mungkin masih deg-degan. Kalau gitu, duduk dulu aja. Nanti 10 menit lagi ditensi lagi ya Bu.” Oke, duduk manis lagi di kursi. Nonton tv sambil menunggu suami yang janji mau datang secepatnya. Paass, banget kemarin hp ketinggalan. Jadi tidak bisa komunikasi sama sekali. Untung suami datang tidak lama kemudian.

Sekitar 15 menit kemudian, perawat memanggil lagi. Dicek lagi tekanan darah. Tetap. Tidak ada perubahan. ”Mm... mungkin nanti dikasih resep sama Ibu Dokter” kata si mbak sambil tersenyum. Okee, dari pengalaman membaca dimana-mana, tekanan darah yang tinggi pada ibu hamil bukan pertanda bagus. Tapi tetap saja dokter yang lebih tau, jadi saya hanya tersenyum berterima kasih, lantas naik ke lantai 2, ke ruangan ibu dokter.

Waktu datang, masih ada sepasang sejoli yang menunggu di ruang tamu. Di dalam masih ada pasien. Jadi kami bakal masuk setelah sepasang sejoli tadi, hihi.

Setelah menunggu sekitar setengah jam, kami akhirnya masuk ke ruangan ibu dokter cantik itu. Setelah memeriksa rekam medisnya, beliau berkomentar, ”Kok tensinya naik? Makan apa hayo?” Saya hanya senyum-senyum. Perasaan nggak habis ngapa-ngapain deh. Setelah itu, ibu Dok menjelaskan ini, itu, pre eklampsia, dan sebagainya. Dan dapatlah saya saran untuk mengurangi konsumsi garam, makanan manis, goreng-gorengan, makanan bersantan, serta menambah makan sayur dan buah-buahan. Eh tapi, baru tau lhoo, ternyata mangga tidak terlalu recommended, karena...emmh... mengandung kolesterol (?) *lupa-lupa ingat penjelasan ibu Dok. Untuk buah, sebaiknya jeruk atau kiwi.

Setelah itu dilihat lagi keluhan yang lain, yaituu mual muntah (lagi) di trimester terakhir ini (selagi menulis ini, barusan saya lari dari kamar mandi dan mengeluarkan semua makanan yang masuk dari pagi, yaiks!). Beliau bilang, mual muntah bisa saja terjadi karena tekanan, bisa juga dari maag. Jadi, beliau meresepkan obat maag untuk cek kali kemarin.

Setelah puas ngobrol-ngobrol, ibu Dok membimbing saya ke balik tirai. Ngapain??? Mau liat si dedek kecil. USG. Sembari beliau melihat kaki saya dan bilang kalau kaki saya baik-baik aja tuh. Tidak ada bengkak sama sekali.

Lalu setelah menyingsingkan baju, saya pun menunjukkan stretchmark yang mulai menghiasi perut bagian bawah saya. Dan dia pun hanya berpesan, beli saja cream anti SM. Ada banyak di apotek. Merknya terserah. Yang penting, harus rajin mengoleskannya. Setiap saat. Tidak hanya sesudah mandi saja. Saya hanya nyengir.

Saat di usg 2 dimensi itu, saya bilang kalau saya pengen usg 4 dimensi. Ehh, tidak taunya beliau malah bilang, ”Sekarang aja ya kalo gitu. Soalnya kalo udah tambah gede, nanti tambah susah liatnya. Tapi diukur dulu ya perkembangan dedeknya..” Waah, senaaanng. Akhirnya malam itu bisa lihat wajah jagoan kecil kami juga.

Perkembangan dedek di usia 30 minggu, beratnya mencapai 1,5 kg. Normal. Alhamdulillah. Organ-organ dalam bagus. Alhamdulillah. Setelah itu, dilihat grafik aliran plasentanya. Normal.

Eh looh, tapi? Kok sang suami nggak ikut lihat? Dia masih asik di balik tirai. Mungkin canggung karena biasanya Ibu Dok tidak memakai ruangan tersebut. Setelah dipanggil, baru dia masuk ke balik tirai dan ikut mengamati gambar di layar. Tapi saking asiknya, kami sampai lupa memfoto saat Ibu Dok memulai usg 4 dimensi. Dan tidak bilang juga kalau mau dicetak. Jadi hanya dapat CDnya saja, huhu...

Selesai semua aktivitas bareng ibu Dok, saya diminta sekalian cek urine di lab. Akhirnya turun ke bawah, buat ngambil sampel urin. Tapi karena antri toilet (entah ada orang di dalamnya atau tidak, hihi), kami jadi agak lama. Dan waktu hasil labnya keluar, ternyata ibu Dok sudah pulang. Ya sudahlah, besok waktu cek lagi dikonsultasikan lagi hasil labnya. Semoga tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Seharian ini, rasanya sudah memenuhi hari dengan pikiran negatif. Walaupun sudah berkali-kali mensugesti untuk take it easy, ternyata hal itu tidak mudah. Akibatnya, makanan yang masuk keluar lagi semua. Stress siihh.. Ayo semangat! Gimana mau nurunin tensi kalo stress masih berlanjut? Pasrahkan semuanya hanya kepada Allah.. Nothing to be worried. Okay? ;)


P.S:
dan untuk biaya total tadi malam, konsultasi dokter, USG 4 dimensi, 4 macam obat-obatan, dan cek lab, ternyata hanya habis Rp 733.000,00. Padahal sudah negatif thinking saja bakal lebih dari satu juta. Ternyata alasannya karena ibu Dok (tempat kami biasa cek itu) bukan spesialis yang biasa melakukan usg 4 dimensi. Jadi, biayanya lebih murah *urut dada karena lega. Mana dibilang plafon asuransi untuk melahirkan sudah Rp 0,00 pula. What?? Padahal baru sekali itu mau memakainya . Memang sengaja selama ini tidak pakai asuransi dengan pertimbangan asuransi itu akan dipakai pada saat lahiran nanti. Ternyata oh ternyata, pada waktu tes TORCH dulu, di sana tercatat sebagai pengeluaran untuk persalinan normal. Dan sepanjang tahun ini, saya dinyatakan sudah melakukan 2x persalinan normal: waktu kuretase di kehamilan pertama, dan tes TORCH di kehamilan kedua *tepok jidat. Untuk urusan yang satu ini, biar suami aja deh yang mengurus nanti. Semoga masih rejekinya dedek yaa :))


Rabu, 14 Desember 2011

Keluhan seorang warga Jakarta


Kapan pertama kali saya menginjakkan kaki di ibukota negara kita tercinta, Jakarta? Sepertinya waktu SD, saat saya ikut rombongan sekolah Ibu study tour ke Taman Mini dan Ancol. Selebihnya? Tidak ada. Pun, tidak pernah sama sekali saya ingin hidup di kota  metropolitan ini. Sampai pada suatu hari, waktu itu saya sedang menanti pengumuman seleksi masuk Perguruan Tinggi Kedinasan yang terletak di ibukota, Ibu saya bilang sepertinya dia punya firasat bahwa saya akan pergi ke Jakarta. Meninggalkan Jogja dan kampus yang baru beberapa hari saya masuki.

Dan benarlah, pertengahan menjelang akhir 2006, pengumuman itu pun keluar, saya diterima di kampus para calon PNS itu. Jakarta, i'm coming.

Sebenarnya, pada masa-masa kuliah selama 3 tahun di pinggiran Jakarta itu, semuanya berjalan dengan menyenangkan dan baik-baik saja. Gambaran kota Jakarta yang keras melebihi ibu tiri, tidak pernah saya rasakan. Mungkin karena keseharian saya yang hanya berkutat di kampus dan daerah kos-kosan. Jarang keluar jauh dari lingkungan itu, kecuali hanya sesekali.

Gambaran mengenai Jakarta semakin jelas terasa saat saya dan teman-teman harus menjalani praktek kerja lapangan. Setiap hari selama satu bulan, kami harus membelah macetnya jalanan ibukota, dari kos di pinggiran Jakarta, menuju kantor di pusat kota. Mulailah terasa, bagaimana perjuangan yang dilakukan kebanyakan warga DKI

Fuuhhh... sepertinya intro tulisan ini terlalu panjang.

Pada akhirnya,setelah lulus dari PTK tersebut, saya pun mulai bekerja. Di Jakarta. Masih lebih baik jika dibandingkan teman-teman yang harus keluar pulau, pikir saya.

2 tahun berlalu tanpa terasa. 2 tahun, saya resmi menjadi pekerja kantoran di Jakarta. Dan setiap hari, saya harus berkutat dengan keseharian Jakarta yang keras. Meskipun saya rasa, tidak begitu keras dibandingkan dengan mereka yang hidup di pinggiran Jakarta. Ya, selama 2 tahun ini saya masih hidup di tengah ibukota. Di antara kemacetan, gedung-gedung tinggi, dan pemukiman kumuh. Belum akan beranjak, sampai saya menemukan tempat tinggal sediri. Mungkin saat itulah saya baru akan menepi ke pinggiran.
   
Ah, sekali ini setelah 2 tahun, saya ingin bilang, kota ini adalah kota yang sakit. Dimana-mana tindak kejahatan terjadi. Keruwetan terjadi. Dan bagaimanalah nasib kita, penduduk setia yang menggantungkan hidupnya pada kota ini? Saya merindukan kota yang tertib, damai, dan memberikan kenyamanan bagi penduduknya. Kalau dinilai tingkat kesehatan psikisnya, mungkin penduduk Jakarta memiliki tingkat stress yang paling tinggi di antara kota-kota lain. Bagaimana tidak stress, kalau setiap hari kita dihadapkan pada persoalan kemacetan, mulai bangun tidur, hingga akan tidur lagi? Bayangan jalan-jalan kota Jakarta pada pagi dan sore hari saat jam sibuk pun sudah membuat kepala cenat-cenut. Berjam-jam waktu dibutuhkan hanya untuk menempuh perjalanan dari rumah ke kantor dan sebaliknya, sangat sia-sia.

Belum lagi bila hujan turun. Selain dibayang-bayangi kemacetan yang semakin parah, warga juga dibayang-bayangi ketakutan akan datangnya banjir. Dan setiap musim penghujan tiba, setiap itu pula proyek perbaikan gorong-gorong dimulai. Mengapa jalanan ibukota selalu macet, bahkan kemacetannya makin tahun makin bertambah? Tentu saja karena penambahan jumlah kendaraan di jalan raya, yang tidak diimbangi dengan penambahan volume jalan. Solusi? Banyak orang bilang, sediakan alat transportasi massal, agar orang beralih dari mobil pribadi ke angkutan umum.

Tapii, lagi-lagi, bagaimana orang seperti saya akan nyaman memakai angkutan umum kalauu:

- para sopirnya ugalan-ugalan

Naik metromini, kopaja, mikrolet rasanya sama saja dimana-mana. Sopir mengemudikan kendaraan seenaknya. Tidak jarang mereka ngebut di tengah padatnya lalu lintas. Seringkali malah balapan, saling susul menyusul satu sama lain. Menyerobot jalur orang. Kalau ada yang menghalangi jalan, dimaki-maki oleh sang sopir, tapi sendirinya sering menyebabkan kemacetan di perempatan-perempatan, tanpa mempedulikan arus lalu lintas di belakangnya. Kalau ada kesempatan, mereka akan menyerobot masuk ke jalur busway. Kalau ada penumpang mau turun? Turunkan saja di tengah jalan :(

- sering terjadi tindak kejahatan di angkutan umum

Saat ada bis transjakarta, warga menyambutnya dengan gembira dan antusias. Akhirnya, ada juga angkutan massal yang nyaman. Tapi, belakangan sering bermunculan kasus yang melibatkan bis transjakarta. Di antaranya adalah, kasus-kasus pelecehan seksual yang sering terjadi di tengah kepadatan penumpang. Walaupun bukan penggunanya, tapi setiap hari saya melihat orang-orang yang berjubel di dalam bis ini,saat pagi dan sore hari. Mereka berdiri berhimpitan satu sama lain, nyaris tidak bisa bergerak. Pantas saja sering dijadikan kesempatan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Selain kejahatan di bis trans ini, kita juga sering mendengar tindak kejahatan di angkutan umum lain. Seperti kemarin sore, ada berita tragis. Lagi-lagi, ini untuk yang kesekian kali, terjadi tindak pemerkosaan di dalam angkutan kota. Sepertinya emosi saya langsung naik begitu membaca berita itu. Orang macam apa yang tega melakukan tindakan keji seperti itu?? Seberapa sakitkah masyarakat kota ini? Hingga tindak kejahatan yang sama terjadi berulang-ulang? :(

- sistem yang tidak praktis dan membingungkan

Kalau yang satu ini, saya sedang membicarakan tentang kereta api.Setelah sempat heboh dengan commuter line yang menambah panjang waktu tempuh perjalanan, PT KAI sedang berbenah kembali dengan menerapkan sistem barunya, loopline. Untuk lebih detailnya, silakan gugling sendiri mengenai cara kerja sistem ini. Banyak orang mengeluhkan, waktu tempuh mereka menjadi lebih lama. Selain ditambah transit di setiap stasiun, mereka juga harus tangkas berpindah dari satu kereta ke kereta lain bila ingin sampai di tujuan. Karena jalur yang dilewati tidak lagi sama dengan jalur sebelumnya. Tujuan dari diterapkannya sistem ini adalah untuk menambah jadwal keberangkatan kereta, sehingga semaikn banyak penumpang yang terangkut. Dalam waktu dekat ini, memang belum terlihat hasilnya. Tapi saya sangat berharap, semuanya sudah lancar dan saat saya akhirnya menggunakan moda transportasi ini nantinya (artinya, kalau saya sudah pindah ke pinggiran Jakarta :D)

Maka, jangan salahkan saya, kalau saya bercita-cita punya kendaraan pribadi bila nanti saya mampu untuk membelinya. Toh, naik kendaraan pribadi, ataupun kendaraan umum, sama saja capeknya. Untuk sementara waktu, sampai ada angkutan massal yang benar-benar nyaman, saya belum akan berubah pikiran.

Tulisan ini sepertinya sudah sangat panjang. Maafkaaaann... ceritanya lagi curhat.

Setelah berkali-kali meyakinkan diri bahwa saya harus mencintai Jakarta, kali ini saya ingin menumpahkan perasaan saja. Seorang kawan pernah menulis status di bb-nya: ratakan Jakarta, lalu bangun kembali (Mbaak, kalau kamu membaca tulisan ini, kasih tau aku yaa, hihi). Sepertinya saya setuju juga dengan kata-katanya. Saking bingungnya, harus memulai darimana perbaikan yang dimaksud. Kemacetan, banjir, tindak kejahatan, pemukiman kumuh, sampah, dst.

Ah, Jakarta oh Jakarta..

Bagaimanapun, ada satu sudut yang menjadi tambatan hati saya di Jakarta. Mungkin, satu-satunya tempat yang memberikan kedamaian. Tempat saya berbagi cinta dan pengharapan. Tempat itu, rumah :)



sumber gambar: google