Kalau ada orang tanya, kok bisa ketemu sama suami? Kadang bingung juga mau nyeritain. Kami berasal dari dunia yg berbeda, lingkungan yang berbeda, sama sekali tidak ada link sebelumnya. Jadi pertanyaan itu tidak bisa dijawab dengan jawaban singkat. Biasanya mereka lanjut nanya: temen sekolah? Temen kuliah? Temen satu kampung? Temen kantor?
Aduuh, mau ditanya kayak apapun kayaknya saya juga bakal jawab: bukan. Soalnya memang kami hampir tak punya irisan apapun sebelumnya. Teman sekolah? Yang pasti enggak. Suami dari kecil sampai gede sekolah di Temanggung, sementara saya di Purbalingga. Teman kuliah? Bukan juga. Suami kuliah di Semarang, sementara saya di Jakarta. Teman kantor? Tentu saja bukan. Suami karyawan swasta, saya PNS. Teman satu kampung? Haha. Suami asalnya dari Temanggung, sementara saya Purbalingga.
Jadi gimana ceritanya?
Jadi, semua berawal dari sahabat keluarga, sebuah keluarga dengan 2 orang anak laki-laki yang usianya sepantaran dengan saya dan adik saya. Sang kakak, dari SD sampai SMP adalah teman satu sekolah. Kami bersaing dalam hal nilai pada masa itu sampai akhirnya dia melanjutkan SMAnya di Jogja.
Kedua keluarga ini, sejak anak-anaknya masih kecil-kecil suka melakukan perjalanan bareng-bareng. Suka juga saling bertukar makanan ala gaya bertetangga di kampung.
Sampai akhirnya, entah kenapa, si Ibu tetangga ingin mengenalkan saya dengan keponakannya yang asli Temanggung dan saat itu sedang bekerja di Jakarta. Saat itu, saya baru lulus kuliah. Asli, beteeeee banget saat pertama-tama mau dikenalin dengan cowok itu. Saya paling nggak suka acara perkenalan-perkenalan ala orang tua. Memangnya ini jaman Siti Nurbaya, pake' dikenal-kenalin segala? Kalau mau, saya juga bisa cari cowok sendiri #eh? Padahal juga tujuannya apa sih, waktu itu dikenalin? Emang mau langsung dinikahkan? Hihi..
Akhirnya, akhir tahun 2009, saya pun berkenalan dengan si Mas. Kenalan sendiri dong, di Jakarta. Kan sama-sama kerja di Jakarta. Nothing happened, sampai awal tahun 2010, saya dilamarlah sama si Mas. Sebelumnya saya pernah bilang, saya nggak mau pacaran-pacaran, kalau berani, langsung nikah aja. Dan awal tahun itu, saya beneran dilamar. Dari lamaran sampai ke nikah, lumayan lama juga waktunya. Kami sampai di pelaminan pada September 2010.
Punya suami dari sebuah 'tempat antah berantah' kadang bikin bete juga. Otomatis saya tidak pernah kenal dg teman-temannya. Teman sekolah, teman kuliah, ataupun teman kantor. Tidak ada tempat untuk mengorek informasi kecuali dari Buliknya, yang sekarang jadi Bulik saya juga. Paling, sumber informasi adalah dari keluarga juga, sepupu2nya misalnya, yang rata2 masih sepantaran dg saya dan adek saya.
Untungnya suami aktif mengenalkan teman-temannya. Saat syukuran nikahan dan pindah kontrakan, dia mengundang teman-teman kantornya. Saya jadi tau dan kenal sedikit-sedikit. Tiap kali ada rekan (kantor maupun mantan teman kuliahnya dulu) yang menikah, dia pun pasti mengajak saya kondangan.
Hanya kadang suka iri juga dengan teman-teman yang punya suami/isteri teman sendiri semasa sekolah atau kuliah dulu. Mereka punya lingkaran pertemanan yang sama. Teman suami, teman isteri juga. Sama-sama kenal dan akrab. Biasanya sih yang kayak gini temen-temen dari STAN. Seru yaah, ngobrol dan bercanda tanpa merasa canggung karena baru berkenalan.
Tapi, di sisi lain, keuntungan bersuami dg orang dari antah berantah adalah, kita bisa menambah teman dan memperluas pergaulan. Kadang juga bisa merasakan dunia yang berbeda dari yang sebelumnya. Tentu karena macam teman dan lingkungan pergaulan yang berbeda.
Dan ternyata, setelah bertemu dengannya, saya jadi berpikir: "Jadi ini toh, jodohku"
Bukan orang yang selama ini terbayang di pikiran. Bukan orang yang dulu pernah diimpi-impikan. Bukan orang yang pernah akrab. Bahkan bukan orang yang pernah dilihat sekalipun. Memang ya, jodoh bisa datang dari mana saja, dari negeri antah berantah sekalipun :p