Senin, 01 Juni 2009

Kau dan Dandelion

Aku melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku. Pukul lima lebih lima menit. Gelisah mulai menghampiri. Langit gelap. Mendung bergelayut. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan lebat. Ah, penghujung Mei masih juga turun hujan.

Berkali-kali kutengok gerbang depan fakultas, tapi dia yang ditunggu belum juga nampak batang hidungnya. Berkali-kali pula dari tadi orang-orang menyapaku,

“Belum pulang An? Bareng yuk?”

“Hey! Ngapain masih di sini. Sebentar lagi hujan lho…”

“Mau di sini sampai kapan An? Kuliah udah selesai dari tadi.”

Dan aku hanya tersenyum saja. Masih setia menunggumu di sini.

Pukul lima lewat lima belas. Kudengar suara motormu. Dan kau muncul di hadapanku. Senyummu menyapaku, tapi aku sudah terlanjur marah. Jadi, kubalas kau dengan wajah masamku.

“Sebel! Kenapa telat? Udah nungguin dari tadi tau!” ucapku sinis.

“Maaf..tadi ban motor Mas bocor, jadi harus ditambal dulu..” katamu dengan memelas. Tapi aku tidak akan terpengaruh. Huh! Lihat saja.

Tak lama kemudian, kita sudah melaju membelah jalan raya. Lihatlah, tiba-tiba langit tak lagi mendung. Matahari mulai memancarkan sinarnya, walau masih malu-malu sembunyi di balik awan. Kau berdendang, entah apa aku tak tau. Tapi aku suka. Kurasa, karena aku menyukaimu, makanya setiap apa yang kau kerjakan aku menyukainya.

Perjalanan menuju rumah. Kita tak saling bicara sepanjang jalan. Aku masih marah, dan kau pun tau itu. Tapi tiba-tiba sesuatu menarik perhatianku.

“Stop! Stop! Berhenti sebentar!”

Aku turun dari motor dan berlari ke tepi jalan, padang ilalang.

“ Tolong dong!” kataku sambil mengulurkan HP.

“ Hah? Apa?”

“Fotoin..di sini.”

Dan kau termangu sesaat, lalu tertawa.

“ Di sini, di sini!” aku bersemangat. Tak peduli orang-orang yang berlalu-lalang memandang kita penuh rasa ingin tahu.

“ Bagus nggak? Bagus nggak?” kataku. Dan kau mengulurkan HP itu padaku.

“ Nih! Mau difoto kayak apa juga, kalau objeknya jelek, tetep aja jelek!” katamu. Dan aku merebutnya dari tanganmu, melihat dengan antusias. Kau beranjak, sementara aku masih belum puas melihat hasil fotoku.

“ Hey, lihat sini,” katamu tiba-tiba.

“ Apa?”

“ Sini lihat..”

Aku pun ikut berjongkok di sebelahmu.

“ Ooh…bunga rumput,” kataku sambil melihat sesuatu di hadapan kita.

“ Ini namanya Dandelion..” kau memberitahuku.

“ Heh? Kayak gini namanya bagus amat?”

Kau hanya tersenyum. Angin senja itu mempermainkan rambutmu. Lalu kau memetik setangkai sesuatu yang kau sebut Dandelion tadi. Aku mengikutimu. Dan kita meniupnya. Mereka beterbangan di antara ilalang. Dan semakin tinggi seiring dengan angin senja hari yang semakin kencang bertiup.

“ Bagus ya?” katamu, “…..suatu hari Mas juga akan seperti mereka…terbang bebas..”

“ Aneh…” kataku.

“ Apanya?”

“ Kata-katamu. Sok puitis!” jawabku.

“ Sebagai manusia, boleh kan kita bercita-cita? Mas ingin seperti dandelion yang kita tiup tadi. Terbang tinggi dan terus meninggi. Mas ingin seperti itu. Semakin lama semakin tinggi. Jadi orang sukses. Jadi Mas bisa membahagiakan bapak sama ibu,” katamu panjang lebar.

“ Hmmm….”

“ Kau juga harus seperti itu An. Jangan biarkan hidupmu sia-sia. Harus punya impian masa depan.” Katamu kemudian sambil bangkit.

“ Emang kenapa kalo nggak punya impian?” aku tak mau kalah.

“ Manusia harus punya impian, agar dia bisa memperjuangkannya.” Katamu sambil berjalan kembali ke motormu.

“ Ayo cepat! Sudah mau maghrib. Nanti kita diomelin Ibu!” teriakmu dari tepi jalan. Dan aku berlari-lari kecil mengikutimu. Kupikir aku sudah tidak marah lagi.

 

Aku termangu di tepi jalan yang sama. Di tempat kau dulu mengajakku bercengkarama dengan Dandelion, si bunga rumput. Masih terngiang dengan jelas kata-katamu kala itu. Namun entah kenapa hatiku malah terasa pilu.

 

Senja itu rupanya terakhir kali aku melihatmu. Malam itu Ibu menyuruhmu keluar membeli sesuatu. Dan setelah itu kau tidak pernah benar-benar kembali.

Aku masih ingat saat tetangga depan rumah berlari-lari panik ke rumah kita. Rumah yang selalu kita ramaikan dengan canda tawa juga pertengkaran-pertengkaran kita. Dan Ibu berdiri di teras dengan Bapak. Mereka berbincang serius.

Aku tidak tahu apa. Tapi kulihat kemudian Ibu lunglai di dekapan Bapak yang nampak shock. Aku lantas keluar, tak peduli anak-anak rambut menyembul dari sela-sela kerudung yang tergesa kupakai.

Ada apa?? Beberapa orang berdatangan. Ikut ribut dan nampak prihatin. Bapak memandangku sayu.

“ Masmu….kecelakaan…”

Aku tak begitu jelas mendengarnya. Bayangan Ibu yang terkulai di dekapan Bapak terlihat samar. Suara orang-orang pun seperti menghilang. Dan setelah itu kegelapan…..

 

Aku berjongkok di tempat yang sama dulu. Di hadapanku Dandelion. Meliuk-liuk tertiup angin senja hari. Kupetik setangkai, dan kutiup dia lembut. Perlahan tapi pasti mereka terbang, tinggi. Dan katamu berulang di telingaku..

“ Manusia harus punya impian, agar dia bisa memperjuangkannya.”

Aku menikmatinya, Dandelion yang beterbangan tertiup angin. Langit mulai semburat merah.

Dan aku seperti melihat bayangmu di sana, tersenyum lembut kepadaku. Angin mempermainkan rambutmu. Seperti dulu….



 

 

Cerita yang agak maksa sebenernya, karena aku tiba-tiba ingin membuat cerpen dengan Dandelion di dalamnya ^^

Lagi suka sama bunga yang satu ini..

Iseng belaka. Maaf kalau tidak berkenan…

NB: belum nemu judul yang pas..

22 komentar:

  1. Biasa aja. Pake hape. Gak ada mode gambar.

    BalasHapus
  2. Keren. Tapi ceritanya kok sedih? Ayo semangat!

    BalasHapus
  3. aq dah nangis bombay,eh cerpen y?
    q jg suka dandelion.hmm..

    BalasHapus
  4. aq dah nangis bombay,eh cerpen y?
    q jg suka dandelion.hmm..

    BalasHapus
  5. based on true story an??

    keren ni tulisannya.

    BalasHapus
  6. Saya kira cerita beneran (ato emang beneran?).
    Nice story.
    Gak kelihatan maksa kok.
    ^_^

    BalasHapus
  7. Saya kira cerita beneran (ato emang beneran?).
    Nice story.
    Gak kelihatan maksa kok.
    ^_^

    BalasHapus
  8. Cantik ya mbak?

    Andiah juga suka ^___^

    BalasHapus
  9. semangat kok :)

    Ceritanya sedih, bukan berarti yang nulis juga lagi sedih..

    BalasHapus
  10. Cerpen..

    nggak beneran kok mbak..

    BalasHapus
  11. fiksi

    lagian nggak punya kakak..

    hehe

    BalasHapus
  12. nggak, cerita iseng aja..

    makasih :)

    BalasHapus
  13. Judulnya diganti ya?
    Seinget saya tadi judulnya "untitled"...

    BalasHapus
  14. Judulnya diganti ya?
    Seinget saya tadi judulnya "untitled"...

    BalasHapus
  15. @rijaddid
    iya,tadi blm ada judul.. tidak ada ide..Judul yg baru ini juga kayaknya kurang pas.. -_-

    BalasHapus
  16. Huwaaa...udah nangis tersedu2...buka hikz3x lagi...kirain beneran...cerpenny bagus an...suka...

    BalasHapus
  17. @mbak Lingga
    makasih mbak Ling.. :)

    BalasHapus
  18. ooh ini toh dandelionnya
    masih ada dua lagi neh yang belum dikunjungi :D

    BalasHapus