Langit gelap. Mendung menggantung. Angin bertiup menggoyang dedaunan di pucuk-pucuk pohon akasia.
Didin memandang langit dengan cemas. Dia mempercepat langkahnya. Perempatan jalan tempat tukang sate berjualan masih di ujung sana. Guntur mulai menggelegar.
Didin berlari-lari kecil ketika titik-titik air berjatuhan dari langit. Semakin lama semakin deras. Dia merutuki diri sendiri, kenapa tadi keluar rumah begitu saja. Tidak naik motor, juga tidak bawa payung, padahal langit sudah mulai gelap. Memang dia tadi sedikit mangkel dalam hati. Jadi, waktu isterinya merajuk untuk yang keseratus kalinya sepanjang hari itu minta dibelikan sate ayam, dia langsung ngeloyor keluar rumah sambil komat-kamit.
"Bang, minta satenya 20 tusuk, dibungkus ya? Bumbunya ga usah pedes," katanya sesampainya di warung tukang sate.
Si abang tukang sate mengangguk. Tangannya masih sibuk kebat-kebit mengipasi tusuk-tusuk sate. Warung sate ini memang lumayan terkenal. Bahkan ketika di luar hujan deras mengguyur bumi, pengunjungnya masih juga berdatangan.
20 menit kemudian pesanan datang. Setelah dibayar, Didin pun beranjak hendak keluar. Tapi, hujan belum mereda, malah semakin deras. Didin urung melangkahkan kakinya. Dia masuk kembali ke dalam warung.
"Bang, Bang Didin pengen anak kita ini nanti cewek atau cowok?" tanya Ratih, isterinya, kemarin siang.
"Apa aja Neng. Cewek oke, cowok juga oke,"
"Ratih pengennya cewek Bang, biar nanti ada yang bantuin Ratih di rumah."
"Cowok aja, biar bisa Abang ajak main bola ya?"
"Huu.. Maunya," kata Ratih manyun.
Didin tersenyum. Tiba-tiba dia merasa bersalah telah jengkel pada isterinya tadi. Ini anak pertama mereka. Tak ada salahnya dia berkorban sedikit demi mengabulkan keinginan isterinya yang sedang ngidam. Didin gelisah. Hujan belum juga reda. Ratih sendirian di rumah.
10 menit kemudian, langit mulai cerah, meski rintik air masih turun satu-satu. Didin melangkah mantap menembus tirai gerimis. Dia berlari, semakin lama semakin cepat, secepat tetesan air yang kian merapat. Hujan turun lagi.
Terengah-engah dia sampai di teras rumahnya. Bajunya kuyup, tetapi bungkusan sate di dalam kantong plastik nampaknya masih aman.
Ratih keluar dengan tergesa begitu mendengar suara salam Didin di teras. Tangan kanannya memegang piring berisi seporsi sate ayam yang sudah separuh habis.
"Ya Allah.. Bang Didin darimana aja? Kok basah gini??"
"Hujan-hujanan, Bang?"
"Ayo, masuk.."
"Ratih lagi makan sate Bang, Abang mau??"
"Pas banget tadi ada tukang sate lewat. Enak deh Bang satenya.."
"Ayo, buruan masuk. Ratih ambilin handuk, Abang ganti baju, trus kita makan bareng ya? Tuh, Ratih beliin juga buat Abang.."
Setelah nyerocos tanpa henti, Ratih buru-buru masuk kembali ke dalam rumah. Tak lama kemudian, dia kembali sambil membawa handuk.
"Bang? Kok Abang diem aja si? Ini handuknya.."
Didin masih diam. Ratih bingung tak mengerti.
"Bang Didin sakit ya?"
Didin diam saja. Tiba-tiba dia kehilangan selera bicara.
Didin memandang langit dengan cemas. Dia mempercepat langkahnya. Perempatan jalan tempat tukang sate berjualan masih di ujung sana. Guntur mulai menggelegar.
Didin berlari-lari kecil ketika titik-titik air berjatuhan dari langit. Semakin lama semakin deras. Dia merutuki diri sendiri, kenapa tadi keluar rumah begitu saja. Tidak naik motor, juga tidak bawa payung, padahal langit sudah mulai gelap. Memang dia tadi sedikit mangkel dalam hati. Jadi, waktu isterinya merajuk untuk yang keseratus kalinya sepanjang hari itu minta dibelikan sate ayam, dia langsung ngeloyor keluar rumah sambil komat-kamit.
"Bang, minta satenya 20 tusuk, dibungkus ya? Bumbunya ga usah pedes," katanya sesampainya di warung tukang sate.
Si abang tukang sate mengangguk. Tangannya masih sibuk kebat-kebit mengipasi tusuk-tusuk sate. Warung sate ini memang lumayan terkenal. Bahkan ketika di luar hujan deras mengguyur bumi, pengunjungnya masih juga berdatangan.
20 menit kemudian pesanan datang. Setelah dibayar, Didin pun beranjak hendak keluar. Tapi, hujan belum mereda, malah semakin deras. Didin urung melangkahkan kakinya. Dia masuk kembali ke dalam warung.
"Bang, Bang Didin pengen anak kita ini nanti cewek atau cowok?" tanya Ratih, isterinya, kemarin siang.
"Apa aja Neng. Cewek oke, cowok juga oke,"
"Ratih pengennya cewek Bang, biar nanti ada yang bantuin Ratih di rumah."
"Cowok aja, biar bisa Abang ajak main bola ya?"
"Huu.. Maunya," kata Ratih manyun.
Didin tersenyum. Tiba-tiba dia merasa bersalah telah jengkel pada isterinya tadi. Ini anak pertama mereka. Tak ada salahnya dia berkorban sedikit demi mengabulkan keinginan isterinya yang sedang ngidam. Didin gelisah. Hujan belum juga reda. Ratih sendirian di rumah.
10 menit kemudian, langit mulai cerah, meski rintik air masih turun satu-satu. Didin melangkah mantap menembus tirai gerimis. Dia berlari, semakin lama semakin cepat, secepat tetesan air yang kian merapat. Hujan turun lagi.
Terengah-engah dia sampai di teras rumahnya. Bajunya kuyup, tetapi bungkusan sate di dalam kantong plastik nampaknya masih aman.
Ratih keluar dengan tergesa begitu mendengar suara salam Didin di teras. Tangan kanannya memegang piring berisi seporsi sate ayam yang sudah separuh habis.
"Ya Allah.. Bang Didin darimana aja? Kok basah gini??"
"Hujan-hujanan, Bang?"
"Ayo, masuk.."
"Ratih lagi makan sate Bang, Abang mau??"
"Pas banget tadi ada tukang sate lewat. Enak deh Bang satenya.."
"Ayo, buruan masuk. Ratih ambilin handuk, Abang ganti baju, trus kita makan bareng ya? Tuh, Ratih beliin juga buat Abang.."
Setelah nyerocos tanpa henti, Ratih buru-buru masuk kembali ke dalam rumah. Tak lama kemudian, dia kembali sambil membawa handuk.
"Bang? Kok Abang diem aja si? Ini handuknya.."
Didin masih diam. Ratih bingung tak mengerti.
"Bang Didin sakit ya?"
Didin diam saja. Tiba-tiba dia kehilangan selera bicara.
Yakin itu sate ayam ? Bukannya sate or**g ?
BalasHapusHieey...
Mgkn klo bisa satenya dibuang aja sm didin.hehe
BalasHapuspelajaran bagus...
BalasHapuspertama; jangan pernah menunda apa yang bisa kau lakukan untuk membuktikan cintamu
kedua: kalau kau benar cinta jangan pernah kecewa
ketiga; jangan pernah merasa telah berkorban banyak, sebab cinta membutuhkan pengorbanan sunyi yang tidak meminta pujian, cinta itu hanya memberi, memberi dan memberi bukan meminta..
keempat; satu kali saja kau merasa telah berkorban, pengorbananmu hanya omong kosong...
terimakasih andiah
hahaha... aku juga kemaren lagi pengen sate ayam >.< sekarang kruyuk2 jadinya..
BalasHapuspengin juga makan sate. Bang Didin mau beliin ga ya? hehe...
BalasHapusaku sukanya sate kambing :p
BalasHapustanya tukang satenya coba deh mbak :D
BalasHapusdibuang sayang...... :(
BalasHapusterima kasih Raja.. sudah menuliskan pesan moral dari cerita di atas,, hehehe
BalasHapusbeli sate ayam yuuukkkk
BalasHapusmau mungkin, kalo Bang Didin kenal sama mbak Yanti ^^
BalasHapustapi, Ratih lagi pengennya sate ayam mbak Ari :D
BalasHapus