
Jelita tersenyum kepada ayah dan ibunya. Rasa cemas dan gugup itu tidak dapat disembunyikan dari wajahnya. Berkali-kali pandangannya berpindah dari satu titik ke titik yang lain. Tidak fokus.
Sementara itu, ayah dan ibunya tampak tak kalah gugupnya. Mereka melihat ke beberapa halaman kertas yang disodorkan putrinya barusan, saat mereka sedang asik menonton televisi. Biodata orang yang akan dijodohkan guru ngaji Jelita dengan gadis itu. Biodata kelima dalam dua tahun ini.
“Emm… bagaimana Yah? Bu?”
Ayah dan Ibu berpandang-pandangan. Akhirnya saat itu, mau tidak mau, datang juga kepada mereka, seberapapun mereka mencoba menundanya. Kini Jelita sudah 27 tahun, sudah lulus S2, dan sudah mendapatkan pekerjaan yang mapan. Tidak ada alasan lagi bagi mereka untuk menolak orang yang datang kepadanya.
“Kalau dilihat dari fotonya, cakep. Ibu suka orangnya..” wanita setengah baya itu berkata sambil merapikan kerudungnya.
“Latar belakang keluarganya bagus. Pendidikannya bagus. Pekerjaannya juga. Sepadan dengan kamu…” ayah berkata sambil tersenyum.
“Jadi?” Jelita bertanya
“Ayah sama Ibu setuju..” Ibu yang berkata. Dia lantas memeluk Jelita, “sudah waktunya kamu menikah..”
***
Tiga minggu menjelang hari pernikahan.
Undangan sudah ditangan. Sebentar lagi akan disebar. Tinggal menunggu daftar namanya diselesaikan oleh Rama, adik Jelita. Sore itu mereka sedang akur, duduk bersisian menghadapi komputer. Sesekali Jelita memberikan instruksi.
Ayah masuk ke dalam kamar dan tersenyum melihat keduanya. Gurat usia itu nampak jelas di wajahnya.
“Jelita, ayah ingin bicara…”
***
Berdua, mereka duduk di bangku teras. Suara air gemericik di kolam kecil depan rumah. Jalanan tampak ramai oleh tetangga yang keluar membawa anak-anaknya. Beberapa Ibu terlihat bergerombol di rumah tetangga depan, sementara anak-anak kecil berlarian di sekelilingnya.
Mata Jelita panas. Ada butiran air bening yang sebentar lagi tumpah di sana. Sepertinya hujan berhari-hari akan turun. Hujan menjelang hari pernikahannya. Tiba-tba dia tahu alasan dibalik semua penolakan yang dia terima selama ini.
“Kamu sudah dewasa. Ayah tidak mungkin terus-terusan memendam rahasia ini. Maaf, Nak.. Ayah tidak bisa menikahkanmu nanti. Kamu harus memakai wali hakim. Kalau ayah berkeras ingin menjadi walimu, pernikahan kalian tidak sah, dan kalian akan zina seumur hidup.” Ayah berkata sambil menghela napas panjang.
Air mata itu kini telah menganak sungai di pipi Jelita.
“Ayah minta maaf, sungguh. Itu kesalahan 28 tahun yang lalu. Tapi, seorang anak akan tetap suci walaupun dia lahir di luar pernikahan yang sah. Kamu tidak berdosa. Ayah dan Ibu yang berdosa. 5 bulan setelah pernikahan Ayah dan Ibu, kamu lahir. Kamu bukan anak Ayah. Kamu adalah anak Ibu…”
Jelita menerawang jauh ke depan. Senja kian temaram. Matahari mulai tenggelam. Ibu-ibu di jalanan depan rumah mulai pulang. Maghrib menjelang. Di kejauhan, suara adzan berkumandang. Dan Jelita, semakin terisak dalam..
“Aku, ternyata cuma anak Ibuku saja…”
*terinspirasi oleh sinetron Pesantren dan Rock ‘n Roll semalam yang menjelaskan tentang status anak di luar nikah
*****
Tentang Anak di Luar Pernikahan yang Sah
Terjadi perselisihan dikalangan para ulama tentang sah tidaknya pernikahan seorang wanita yang sedang hamil dikarenakan zina : Para ulama Maliki, Hambali dan Abu Yusuf dari madzhab Hanafi tidak memperbolehkan pernikahannya itu sebelum dia melahirkan, tidak dengan lelaki ang menzinahinya atau tidak juga dengan lelaki yang lainnya, berdasarkan sabda Rasulullah saw,”Seorang wanita yang sedang hamil tidak boleh digauli sehingga dia melahirkan..” (HR. Abu Daud) dan sebagaimana riwayat dari Said al Musayyib bahwa seorang laki-laki telah menikahi seorang wanita dan ketika diketahui bahwa wanita itu sedang hamil dan diberitahukanlah hal ini kepada Nabi saw maka beliau saw pun memisahkan mereka berdua.” (HR. Baihaqi). Sedangkan para ulama Syafi’i dan Hanafi membolehkan pernikahannya dikarenakan belum terkukuhkannya nasab, berdasarkan sabda Nabi saw,” Anak itu bagi yang memiliki tempat tidur sedang bagi yang berzina tidak memiliki apa-apa.” (HR. Jama’ah kecuali Abu Daud).
Adapun pendapat bahwa jika si ayah biologis dan ibunya yang telah terlanjur hamil ini kemudian menikah. Jika setelah menikah, si ibu masih menjalani kehamilan selama 6 bulan atau lebih sampai kelahirannya, maka si anak bisa mengikuti garis keturunan sang ayah dan bisa menjadi wali nikahnya. tapi jika si ibu menjalani kehamilan kurang dari 6 bulan sampai saat kelahirannya, maka sang anak hanya bisa mengikuti garis keturunan sang ibu.. pernyataan ini bisa ditemukan didalam “al Fatawa al Hindiah” didalam Fiqih Hanafiyah yang menyebutkan : jika seorang lelaki berzina dengan seorang wanita dan wanita itu menjadi hamil kemudian lelaki itu menikahinya dan melahirkan maka jika wanita itu mengandung selama 6 bulan atau lebih maka nasab anak itu terkokohkan dan jika wanita itu mengandung selama kurang dari 6 bulan maka nasab anak itu tidak terkokohkan kecuali hanya sebatas pengakuannya—bahwa anak itu adalah anaknya—selama dia tidak mengatakan,”Sesungguhnya anak itu dari perzinahan.” Adapun jika dia mengatakan,”Sesungguhnya dia adalah dariku dari perzinahan.” Maka nasabnya tidak terkokohkan dan dia tidaklah mewariskan hartanya.”
Pendapat yang paling kuat adalah bahwa anak zina tidaklah terkokohkan nasabnya dari seorang lelaki pezina baik dirinya menikahi wanita yang dizinahinya lalu wanita itu mengandung anak itu kurang dari enam bulan sejak waktu akad nikah atau tidak menikahi wanita itu lalu wanita itu melahirkannya. Akan tetapi jika anak itu dinisbatkan kepadanya dengan pengakuannya dan dia tidak mengatakan bahwa anak itu dari hasil perzinahan maka nasabnya terkokohkan didalam hukum-hukum dunia. Demikian pula jika lelaki itu menikahi wanita yang dizinahinya dan dia mengandung anak dari hasil perzinahannya lalu melahirkan seorang anak dalam masa kurang dari waktu minimal suatu kehamilan sementara orang itu terdiam atau mengakuinya dan tidak mengatakan bahwa anak itu adalah dari hasil perzinahan maka nasabnya terkokohkan didalam hukum-hukum dunia.” (Fatawa al Islam Sual wa Jawab juz I hal 591)
Dengan mengambil pendapat jumhur ahli ilmu bahwa seorang anak zina tidaklah dinasabkan kecuali kepada ibunya dan ketika anak zina tersebut kelak ingin menikah maka tidaklah bisa diwalikan oleh ayah yang berzina dengan ibunya akan tetapi perwaliannya dilakukan oleh penguasa atau hakim. Karena hakim adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Penguasa adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Dan seandainya seorang anak zina dinikahkan oleh ayah yang menzinahi ibunya maka pernikahan yang dilakukannya itu batal sehingga kedua pasangan tersebut haruslah dipisahkan. Adapun cara pemisahan antara keduanya adalah dengan cara si suami menjatuhkan talak (cerai) terhadapnya jika memang dirina rela untuk melakukannya sendiri namun jika dirinya tidak ingin melakukannya sendiri maka pemisahan itu dilakukan oleh hakim.
Sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu Qudamah bahwa apabila seorang wanita dinikahkan dengan pernikahan yang rusak (batal) maka tidaklah boleh dirinya denikahkan dengan selain orang yang telah menikahinya sehingga orang yang menikahinya itu menceraikannya atau dipisahkan pernikahannya. Apabila suaminya itu tidak mau menceraikannya maka hakimlah yang harus memisahkan pernikahannya, dan nash ini dari Ahmad. (al Mughni juz IX hal 125)
Setelah suaminya menceraikan istrinya atau keduanya dipisahkan oleh hakim lalu si lelaki ingin kembali menikahinya maka hendaklah dengan akad yang baru dengan diwalikan oleh penguasa atau hakim, yang dalam hal ini adalah KUA.
Wallahu A’lam
Penjelasan didapat dari Yahoo Answer