Rabu, 14 Desember 2011

Keluhan seorang warga Jakarta


Kapan pertama kali saya menginjakkan kaki di ibukota negara kita tercinta, Jakarta? Sepertinya waktu SD, saat saya ikut rombongan sekolah Ibu study tour ke Taman Mini dan Ancol. Selebihnya? Tidak ada. Pun, tidak pernah sama sekali saya ingin hidup di kota  metropolitan ini. Sampai pada suatu hari, waktu itu saya sedang menanti pengumuman seleksi masuk Perguruan Tinggi Kedinasan yang terletak di ibukota, Ibu saya bilang sepertinya dia punya firasat bahwa saya akan pergi ke Jakarta. Meninggalkan Jogja dan kampus yang baru beberapa hari saya masuki.

Dan benarlah, pertengahan menjelang akhir 2006, pengumuman itu pun keluar, saya diterima di kampus para calon PNS itu. Jakarta, i'm coming.

Sebenarnya, pada masa-masa kuliah selama 3 tahun di pinggiran Jakarta itu, semuanya berjalan dengan menyenangkan dan baik-baik saja. Gambaran kota Jakarta yang keras melebihi ibu tiri, tidak pernah saya rasakan. Mungkin karena keseharian saya yang hanya berkutat di kampus dan daerah kos-kosan. Jarang keluar jauh dari lingkungan itu, kecuali hanya sesekali.

Gambaran mengenai Jakarta semakin jelas terasa saat saya dan teman-teman harus menjalani praktek kerja lapangan. Setiap hari selama satu bulan, kami harus membelah macetnya jalanan ibukota, dari kos di pinggiran Jakarta, menuju kantor di pusat kota. Mulailah terasa, bagaimana perjuangan yang dilakukan kebanyakan warga DKI

Fuuhhh... sepertinya intro tulisan ini terlalu panjang.

Pada akhirnya,setelah lulus dari PTK tersebut, saya pun mulai bekerja. Di Jakarta. Masih lebih baik jika dibandingkan teman-teman yang harus keluar pulau, pikir saya.

2 tahun berlalu tanpa terasa. 2 tahun, saya resmi menjadi pekerja kantoran di Jakarta. Dan setiap hari, saya harus berkutat dengan keseharian Jakarta yang keras. Meskipun saya rasa, tidak begitu keras dibandingkan dengan mereka yang hidup di pinggiran Jakarta. Ya, selama 2 tahun ini saya masih hidup di tengah ibukota. Di antara kemacetan, gedung-gedung tinggi, dan pemukiman kumuh. Belum akan beranjak, sampai saya menemukan tempat tinggal sediri. Mungkin saat itulah saya baru akan menepi ke pinggiran.
   
Ah, sekali ini setelah 2 tahun, saya ingin bilang, kota ini adalah kota yang sakit. Dimana-mana tindak kejahatan terjadi. Keruwetan terjadi. Dan bagaimanalah nasib kita, penduduk setia yang menggantungkan hidupnya pada kota ini? Saya merindukan kota yang tertib, damai, dan memberikan kenyamanan bagi penduduknya. Kalau dinilai tingkat kesehatan psikisnya, mungkin penduduk Jakarta memiliki tingkat stress yang paling tinggi di antara kota-kota lain. Bagaimana tidak stress, kalau setiap hari kita dihadapkan pada persoalan kemacetan, mulai bangun tidur, hingga akan tidur lagi? Bayangan jalan-jalan kota Jakarta pada pagi dan sore hari saat jam sibuk pun sudah membuat kepala cenat-cenut. Berjam-jam waktu dibutuhkan hanya untuk menempuh perjalanan dari rumah ke kantor dan sebaliknya, sangat sia-sia.

Belum lagi bila hujan turun. Selain dibayang-bayangi kemacetan yang semakin parah, warga juga dibayang-bayangi ketakutan akan datangnya banjir. Dan setiap musim penghujan tiba, setiap itu pula proyek perbaikan gorong-gorong dimulai. Mengapa jalanan ibukota selalu macet, bahkan kemacetannya makin tahun makin bertambah? Tentu saja karena penambahan jumlah kendaraan di jalan raya, yang tidak diimbangi dengan penambahan volume jalan. Solusi? Banyak orang bilang, sediakan alat transportasi massal, agar orang beralih dari mobil pribadi ke angkutan umum.

Tapii, lagi-lagi, bagaimana orang seperti saya akan nyaman memakai angkutan umum kalauu:

- para sopirnya ugalan-ugalan

Naik metromini, kopaja, mikrolet rasanya sama saja dimana-mana. Sopir mengemudikan kendaraan seenaknya. Tidak jarang mereka ngebut di tengah padatnya lalu lintas. Seringkali malah balapan, saling susul menyusul satu sama lain. Menyerobot jalur orang. Kalau ada yang menghalangi jalan, dimaki-maki oleh sang sopir, tapi sendirinya sering menyebabkan kemacetan di perempatan-perempatan, tanpa mempedulikan arus lalu lintas di belakangnya. Kalau ada kesempatan, mereka akan menyerobot masuk ke jalur busway. Kalau ada penumpang mau turun? Turunkan saja di tengah jalan :(

- sering terjadi tindak kejahatan di angkutan umum

Saat ada bis transjakarta, warga menyambutnya dengan gembira dan antusias. Akhirnya, ada juga angkutan massal yang nyaman. Tapi, belakangan sering bermunculan kasus yang melibatkan bis transjakarta. Di antaranya adalah, kasus-kasus pelecehan seksual yang sering terjadi di tengah kepadatan penumpang. Walaupun bukan penggunanya, tapi setiap hari saya melihat orang-orang yang berjubel di dalam bis ini,saat pagi dan sore hari. Mereka berdiri berhimpitan satu sama lain, nyaris tidak bisa bergerak. Pantas saja sering dijadikan kesempatan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Selain kejahatan di bis trans ini, kita juga sering mendengar tindak kejahatan di angkutan umum lain. Seperti kemarin sore, ada berita tragis. Lagi-lagi, ini untuk yang kesekian kali, terjadi tindak pemerkosaan di dalam angkutan kota. Sepertinya emosi saya langsung naik begitu membaca berita itu. Orang macam apa yang tega melakukan tindakan keji seperti itu?? Seberapa sakitkah masyarakat kota ini? Hingga tindak kejahatan yang sama terjadi berulang-ulang? :(

- sistem yang tidak praktis dan membingungkan

Kalau yang satu ini, saya sedang membicarakan tentang kereta api.Setelah sempat heboh dengan commuter line yang menambah panjang waktu tempuh perjalanan, PT KAI sedang berbenah kembali dengan menerapkan sistem barunya, loopline. Untuk lebih detailnya, silakan gugling sendiri mengenai cara kerja sistem ini. Banyak orang mengeluhkan, waktu tempuh mereka menjadi lebih lama. Selain ditambah transit di setiap stasiun, mereka juga harus tangkas berpindah dari satu kereta ke kereta lain bila ingin sampai di tujuan. Karena jalur yang dilewati tidak lagi sama dengan jalur sebelumnya. Tujuan dari diterapkannya sistem ini adalah untuk menambah jadwal keberangkatan kereta, sehingga semaikn banyak penumpang yang terangkut. Dalam waktu dekat ini, memang belum terlihat hasilnya. Tapi saya sangat berharap, semuanya sudah lancar dan saat saya akhirnya menggunakan moda transportasi ini nantinya (artinya, kalau saya sudah pindah ke pinggiran Jakarta :D)

Maka, jangan salahkan saya, kalau saya bercita-cita punya kendaraan pribadi bila nanti saya mampu untuk membelinya. Toh, naik kendaraan pribadi, ataupun kendaraan umum, sama saja capeknya. Untuk sementara waktu, sampai ada angkutan massal yang benar-benar nyaman, saya belum akan berubah pikiran.

Tulisan ini sepertinya sudah sangat panjang. Maafkaaaann... ceritanya lagi curhat.

Setelah berkali-kali meyakinkan diri bahwa saya harus mencintai Jakarta, kali ini saya ingin menumpahkan perasaan saja. Seorang kawan pernah menulis status di bb-nya: ratakan Jakarta, lalu bangun kembali (Mbaak, kalau kamu membaca tulisan ini, kasih tau aku yaa, hihi). Sepertinya saya setuju juga dengan kata-katanya. Saking bingungnya, harus memulai darimana perbaikan yang dimaksud. Kemacetan, banjir, tindak kejahatan, pemukiman kumuh, sampah, dst.

Ah, Jakarta oh Jakarta..

Bagaimanapun, ada satu sudut yang menjadi tambatan hati saya di Jakarta. Mungkin, satu-satunya tempat yang memberikan kedamaian. Tempat saya berbagi cinta dan pengharapan. Tempat itu, rumah :)



sumber gambar: google



 

35 komentar:

  1. wow...setuju banget disebut kota sakit :D

    udah berkali-kali ganti gubernur ndak ada satupun yang benar2 berhasil mengatasi kemacetan dan keruwetan JKT :)

    Aku ikhlas disebut buta JKT, karena memang ga suka muter2 kelayapan di JKT! hehe..sengaja milih beli tempat tinggal dipinggiran JKT biar merasakan hidup aman sentausa bebas stress. Kan aku sering dibilang buta JKT karna ga tau jalan2 JKT, ga tau angkot dan bisnya kemana. Kalopun ke JKT milih naik taxi, bisa bobo dan santai2 hehe..walopun macet ga capek jadi driver :p

    Alhamdulillah...bkn mau sombong atau pamer, office & workshop semuanya di BSD yg kebetulan udah disediain ama Sinar Mas, si developer...
    Tetangga2ku yg kerja di JKT, mereka naik kereta. Kendaraan mereka taruh di stasiun. itupun ttp masih rada stress saat dari office mereka menuju stasiun2 di Jkt

    BalasHapus
  2. Bln Okt kemaren pertama kalinya naik Busway (kasiiaaan deh saya haha), itupun yang katanya kendaraan umum 'ternyaman" masih bikin gelisah dan pusying. Bau joknya kayak keset ga dicuci setahun, seolah baunya itu nempel di rok yg kukenakan...
    Kukira bakal lancar jaya naik busway, soalnya punya jalur sendiri. Ndak taunya tetep ikutan merayap macet2an juga gara2 mobil dan kendaraan pribadi ikut2an ngambil jalur busway..woalaaah...ndak tertib banget ya....

    BalasHapus
  3. Andiah, tulisanmu ini mengingatkanku pada pencarianmu akan rumah impian :D
    jadi, milih yang dipinggiran JKT or JKT nya?
    persoalan macet, bisa jadi pertimbangan :)

    BalasHapus
  4. Heuheu sempet pengen posting, jangan salahkan banyak orang yg memilih kendaraan pribadi karena memang tidak ada pilihan yg lebih baik heuheu

    BalasHapus
  5. jangan lupa, kita salah satu penyumbang keadaan yang seperti itu hehe, karena kita tinggal di Jakarta...

    aku sudah memutuskan untuk tidak bergabung dengan kemacetan Jakarta sejak 2006 lalu, memutuskan untuk tidak lagi menghabiskan BBM dengan percuma agar paling tidak sedikit menyumbang hemat BBM dan mengurangi polusi, emang banyak banget yang harus dikorbankan, tapi kalau udah niat pasti bisa... tapi yah gitu deh kita mundur, yang maju seribu hahahaha

    BalasHapus
  6. sebernarnya masalah transportasi adalah masalah holistik yang mencakup banyak hal, kebijakan energi, perdagangan, dll, kalau saja pemerintah nggak serakah mungkin sekarang kita udah punya MRT sejajar dengan dengan negara2 ASEAN lainnya, bukan mundur puluhan tahun malahan

    BalasHapus
  7. Hmmm..berarti, harusnya saya lebih bnyk bersyukur

    BalasHapus
  8. Baca komen mbak ari
    Manggut2
    Iya yaaa kita yg menuh2in jakarta

    Meski tinggal di pinggiran heuheuheu

    BalasHapus
  9. saya cinta jakarta, saya cinta jakarta.. *lagi2masihsugesti

    sama mb, bagi kita yg pernah merasakan hidup di luar jakarta, pasti berasa ga nyaman banget ya di sini. tapi ya mau gimana lagi, alhamdulillah sampai saat ini, dan semoga seterusnya, paling ga masih menjadi orang yg merasakan 'keramahan' jakarta. seenggaknya walaupun harus bermacet2 di jalan, masih punya tempat berteduh dan tempat bekerja yg nyaman. :)

    BalasHapus
  10. hehe anty, kadang kita lupa... bahwa kita bukan penduduk asli Jakarta (walaupun aku datang ke Jakarta sejak 1977 dan bikin KTP pertama di Jakarta sejak usia 17 tahun, aku tetap merasa aku bukan penduduk asli)... dan kadang kita terlalu mengeluh dengan keadaan yang kita ciptakan sendiri, menyalahkan orang lain, dan enggan mencari solusi, padahal kita juga sama seperti orang lain, numpang hidup di kota metropolitan ini... dan semua orang punya hak yang sama atas kota ini... segala keputusan kita atas hidup tentu saja berdampak luas atas kehidupan orang lain, jadi kalau nggak hati2 memutuskan sesuatu ya dampaknya tentu kembali ke kita...

    BalasHapus
  11. tulisan ini mewakili suara hatiku...hehe..
    *yang sering sesak karena polusi dan pening dengan kemacetan Jakarta*

    BalasHapus
  12. balesin komennya bentar dulu *lagi kerja*

    :p

    BalasHapus
  13. enakan di kampuunngg
    *sabar An, 1,5 bulan lagi pulang kampung yaa
    *menenangkan diri sendiri

    BalasHapus
  14. aku juga pengen ke pinggiran, trus tempat kerjanya di pinggiran juga
    tapi kenyataannya nanti, biarpun aku ke pinggir, tempat kerjaku teteep di tengah Jakarta kak Rien
    jadi mau tak mau, harus mau juga setiap hari menembus kerasnya ibukota ;)

    BalasHapus
  15. memang kayak gitu
    kalau jalanan udah maceeet banget biasanya kendaraan malah diarahkan buat lewat busway
    tapi anehnya, kadang-kadang juga ada penertiban jalur busway dari kendaraan selain bus trans
    yang masuk sana, ditilang
    nah lho
    ini sebenernya siapa yang bermuka dua ya? :D

    BalasHapus
  16. Tau gak, segala keruwetan Jakarta ~bagi saya terutama~ punya caranya sendiri untuk mendidik kita penduduknya. Ada yg berakhir dg keluhan dan umpatan, ada yg sukses cari strategi dan enjoy. Keduanya pilihan. As we know, ada kondisi yg bisa kita kontrol ada yg tidak. Jakarta yg nyaman, tapi tetep dg sgala kemodernannya tentu masih jd dambaan setiap orang. Tpi, u bisa sekelas singapore, ya kita ngaca dulu lah sama diri sendiri :DD ~red : pemerintah dan penduduk. Saya pernah berfikir bahwa macet itu nyebelin, tapi wait, macet itu jg tanda kalau Jakarta 'masih hidup' masih menjdi tmpt byk org cri sesuap nasi. Tinggal gimana managenya aja.

    Well, pilihan u menikmati atau membenci kota ini kembali pada hati masing2, saya si, masih ingin membangun cinta dg kota ini. Saya tetap harus bsyukur, masih punya kesempatan u tinggal di kota yang meski banjir, macet, polusi, masih memberi tangga u saya meraih cita cita.

    Actualluy, aku sayang kota ini.

    BalasHapus
  17. pinggiran Jakarta kak Rien...
    pingin memberikan lingkungan yang baik buat anak-anakku kelak
    eh, memangya pusat kota bukan lingkungan yang baik apah? :D

    intinya, pengen menghindar dari kebisingan kota, dan kalo bisa nyari tempat yang adem ;)

    BalasHapus
  18. heu heu
    trus salahkan siapa dong? :D

    BalasHapus
  19. maksudnya ya monopoli energi, monopoli perdagangan, semuanya terkait kinerja pemerintah korup, nggak akan sukses realisasi transportasi massal yang layak kalau masih seperti ini hehe

    BalasHapus
  20. syukuri apaa yang aada
    hidup adalah anugeraah
    ^_^

    BalasHapus
  21. ayuk pindaaahh

    kalo disuruh pindah si, aku mau banget
    tapi sayangnya nggak bisa :D

    BalasHapus
  22. terus Faa..
    aku mau juga dihipnotis kek gini :p

    BalasHapus
  23. ini aku juga sedang mengeluarkan suara hati mbak
    setelah sekian lama mensugesti diri sendiri
    sampai sekarang belum berhasil

    *kembali lagi mensugesti diri sendiri

    BalasHapus
  24. Sebenernya tulisan ini tuh muncul karena mendengar kembali berita tindakan kriminal di angkot itu looh
    dan entah kenapa pengen meluapkan segenap perasaan *halah!
    sebagai perempuan, pingin sekali suatu kondisi yang nyaman dan aman

    *ini lagi ngomongin angkutan umum*
    sepanjang perjalanan hidup di jalanan, semua jenis angkutan rasanya pernah aku coba mbak lis
    dan semuanya dari metromini, bajaj, sampai tukang ojek, tidak ada satupun yang memberikan kenyamanan dan keamanan. Bahkan naik bajaj sekalipun, biarpun sudah pribadi serasa punya supir sendiri, rasanya nggak aman karena bajajnya ngebuuuttt dan salip sana-sini
    hampir putus asa dengan yang satu ini

    biarpun sampai sekarang masih meyakinkan diri bahwa Jakarta itu layak untuk dicintai, tapi sejujurnya, sugesti itu masih belum bekerja sampai sekarang

    *Looh, komenku ini kayaknya nggak nyambung deh satu sama lain
    hihihi
    maaf curhat lagi

    BalasHapus
  25. oohh... *manggut-manggut

    padahal warga, salah satunya aku ini, berharap bangeeetttt punya alat transportasi massal yang layak
    apapun itu
    yang lewat jalan raya, atau lewat rel
    apapun lah
    yang sistemnya baik, tertib, dan disiplin

    BalasHapus
  26. aku lahir,besar,bersekolah djakarta tercinta.
    sempet 5tahun keluar smentara ke semarang,n tetap kmacetan yg drindukan.

    jakarta walaupun sakit,tp tnyata masi bnyk yg membuatny tetap dcintai.masi bnyk org baik djakarta.
    yg plg kusuka dr jakarta adlh kota ini tak pernah tidur.g usa kuatir khabisan angkot kalo harus plg pagi (kalo dr smarang).n bnyk inspirasi ddlmnya.
    para tkg sayur malem2,tkg ojek yg baik hati,bpk2 tua dstasiun,,
    smw pnya kisah,smw menginspirasi

    ktny,kalo cinta jakarta,mari bbondong2 pergi meninggalkan jakarta.agar jakarta bs diobati..

    tkait transportasi,kalo syg jakarta justru harus pke transportasi publik.ud tlalu bnyk kendaraan djalanan,bserta emisi gas buangnya.atw bike to work jg ok..

    gt pendapatku,an..
    ^^

    BalasHapus
  27. yang lahir dan besar di Jakarta, tentu saja punya pandangan yang berbeda dengan para pendatang yang lahir dan besar di kota lain yaa, kayak aku ini :)

    dan bener banget, Jakarta tidak melulu punya sisi negatif kok
    hanya saja, karena ini sedang mengeluh, jadi aku luapkan saja semua yang ada di pikiranku

    di sekitar masih banyak kok, tetangga-tetangga yang baik
    orang-orang di jalanan yang masih peduli sekitarnya

    ah ya, aku ingin keluar Jakarta
    tapi mata pencaharianku sementara masih di sini
    suami juga begitu
    butuh pertimbangan dan persiapan yang matang sebelum kami bisa keluar dari jakarta :)


    BalasHapus
  28. yup,bener bgt an..
    klo kt akuai dpostingan sebelah,
    "bersyukur.."

    walopun tua djalan wt mcapai skolah,walopun harus bmacet2 ria,walopun harus berlarian dgn waktu,
    mari kita bersyukur..
    ^^

    BalasHapus
  29. udah liat postingannya, tapi belum baca :D

    mari kita bersyukur
    Alhamdulillaaaaahh...
    ^____^

    BalasHapus
  30. Rencana jangka panjangnya memang hijrah k sebuah kota cantik nan asri
    Tapi kalo aku sementara ini gak bs pindah karena:
    - suami penduduk jakarta meski keturunan jawa tapi keluarganya semua di jakarta

    - rumah insya اَللّهَ sudah tetap di jakarta coret ; depok اَلْحَمْدُلِلّهُِ

    -suami kerjanya gak ada mutasi seperti kantor lain karena cuma ada 1kantor kemenko, kecuali resign itupun setelah bisa bayar k stan klo resign ​:DH[e̲̅][e̲̅]H[e̲̅]H[e̲̅]H[e̲̅][e̲̅]:D

    Sekarang ini cuma bisa bersyukur tinggal di daerah pinggiran jkt setidaknya tidak tiap hari pergi menggunakan angkutan dan msh bs merasakan sejuknya udara


    Hayuuuu semangaaatttt
    Biar ga macet dulu aku dan suami pergi k kantor lebih pagi :D

    BalasHapus
  31. Aku profesional thd Jakarta...namun tetap tidak mengubah penilaian, bahwa aku membenci...

    namun hal itu tidak bisa dijadikan halangan...kecuali gajiku kutabung, untuk menebus ijazahku...lalu aku bs pergi ke tempat yg kusuka...

    Dan teman-temanku di sektor tombak penerimaan maupun pengeluaran anggaran...yg mungkin memang tidak merasakan macet, tidak menjadi korban kejahatan di angkutan umum, dan menghadapi kehirukpikukan metropolitan...namun mereka jauh dr rumah, dr istri, dan dr anak..mengisi waktu dg mancing, main kartu, atau tidur lebih cepat...berharap esok adalah gajian+ libur panjang dan berarti bs bertemu istri..sebelum libur dan uang itu, habis di perjalanan pulang dan pergi...

    untuk PP harus nggu ombak laut ,8jam darat, 4x pesawat...dengan THP sama...atau lebih rendah karena beda instansi...harapan mereka, keajaiban dan D4/beasiswa...meski...pada kenyataannya...

    akhirnya bagi mereka Jakarta itu ternyata sangat indah...Itu yg menguatkanku, supaya tidak menyia2kan kesempatan di sentral ekonomi Indonesia ini...sebelum kesempatan itu, direnggut Tuhan..dan aku blm bs berbuat apa apa.C#

    BalasHapus
  32. awalnya sama suami pengen memberdayakan angkot
    tapi apa daya angkot sering "menyiksa"
    akhirnya pakai roda dua deh
    praktis
    maaf ya Jakarta, ikut-ikutan nambahin polusi hiks :(

    BalasHapus