Minggu, 22 April 2012

(Raihan) Aku coyat duyu yaa..


Terjemah: Aku sholat dulu yaaa...

Foto tanpa rekayasa dan pengatur gaya. Tiba-tiba aja Raihan pasang gaya kek gitu pas tidur :D


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Rabu, 18 April 2012

(Raihan) Tampilan fisik bukan yang utama


"Kok iteeemm... Nggak kayak ayah bundanya" (Actually, ayahnya doang si yang putih. Bundanya mah cokelat warna kulitnya :p)

"Idungnya peseek.."

Biarkan orang bilang apa Nak. Di mata Bunda, kamu yang paling tampan *liat aja, nanti kalo udah gede Raihan juga keliatan cakepnya :p

*cium-cium Raihan


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Selasa, 17 April 2012

Kisah Kelahiran Raihan (Part II)

Setiap entah beberapa menit sekali (mungkin setengah jam), datang seorang bidan mengecek detak jantung bayi. Kadang bidan senior yang datang, kadang mungkin asisten bidan. Bisa dilihat dari wajahnya yang masih imut-imut *apadeh, nggak penting :p Setiap kali doppler (alat pendengar detak jantung bayi) ditempelkan ke perut, jantungku rasanya ikut berdetak kencang. Apalagi kalau bidan susah menemukan detak jantung si kecil, sehingga alat itu digeser-geser kesana kemari.

13.-- (jam 1 siang)
Aku semakin kesakitan. Tak tahan. Masya Allah, rasanya di perut bagian bawah teramat sakit. Kubilang ke suamiku,"Rasanya kayak mau mati" Entah apa gerangan yang mendorongku berkata seperti itu. Diantara rasa sakit aku sudah tidak peduli apa yang aku katakan, tidak peduli sekitar. Aku hanya fokus pada sakitku. Dia hanya menenangkan sambil memelukku.

Beberapa orang masuk ke ruangan. Entahlah, sepertinya Ibuku, Bapak mungkin, Bulik, dan entah siapa lagi. Mereka datang lalu pergi. Belakangan Ibu bilang kalau dia tidak tega melihatku. Katanya, wajahku sudah pucat pasi. Bibirku putih. Keringat dingin mengaliri wajahku.

Kami bertanya ke bidan yang datang dan pergi. Sudah bukaan berapa? Setelah dicek, baru bukaan 2 katanya. Masih berapa lama lagi? Masing-masing bukaan, butuh waktu 1 jam. Jadi, untuk sampai ke bukaan lengkap, normalnya butuh waktu 8 jam.

Aku meringis ke suamiku. Satu menit, dua menit, tiga menit. Kubilang, aku tak tahan lagi. Tolong, aku mau caesar saja. Dia memandang penuh harap,
"Normal aja ya?"
"Udah nggak tahaan.. Mau caesar ajaaa," kataku
"Kita coba normal ya?" dia masih berusaha meyakinkanku
"Enggak. Sakit banget..."
Suamiku tak tega melihatku. Akhirnya, dia pun menyerah
"Beneran caesar?"
"Iya.."Jawabku
"Kalau gitu Ayah bilang Ibu (Ibuku.red) dulu ya.."
"Jangan lama-lama Yah" kataku

*belakangan, Ibu cerita, saat memberitahu aku mau dicaesar, suamiku menahan tangis. Setelah diberitahu, ibu juga lemas rasanya. Beliau hanya sholat, berdoa, berdoa, dan mengaji di dalam kamar. Sepanjang siang itu, sampai bayiku lahir.

Suami kembali menemaniku di dalam kamar. Surat persetujuan untuk operasi disodorkan. Aku dan suamiku menandatanganinya. Tetapi kami masih harus menunggu lantaran dokternya sedang ada di tempat lain. Sementara itu, kamar operasi pun dibereskan.
"Dokternya masih lama mbak?" tanyaku tak sabar
"Udah dikasih tau, mungkin sekitar setengah jam lagi"
Berkali-kali sepertinya aku menanyakan hal yang sama: dokternya sudah ada? begitu berulang-ulang.

Beberapa saat kemudian, saat aku dan suamiku menunggu dokter, aku merasakan dorongan yang sangat kuat untuk mengejan. Tekanan di perut, rasa sakit memuncak, membuat keinginan untuk segera mengeluarkan si dedek semakin kencang.

"Mbaaaakkk..!!! Pengen ngedeeenn!!" teriakku.
"Jangan. Nggak boleh dulu mbak.."
"Tapi pengen ngeden mbaaak.."
"Coba dicek dulu ya, bukaannya"
Bidan pun mengecek bukaan.
"Waah, ini sudah bukaan 7 ke 8 nih!"


_to be continued_


*maap kalau terputus-putus nulisnya. Kemarin disibukkan dg kepulangan Raihan ke Jakarta. Jadi ga sempet nulis dan posting :D

Kamis, 12 April 2012

Kisah Kelahiran Raihan (Part I)

Akhirnya mulai menulis lagi, setelah sekian lama vakum lantaran berbagai kesibukan *jadi ibu, memang menyibukkan bukan? ;) Catatan ini dibuat untuk mengenang proses kelahiran Raihan. Sebagai pengingat perjuangan hari itu, saat aku mengantarkan jagoan kecilku melihat dunia. Semoga, suatu hari nanti, Raihan juga bisa membacanya, sehingga dia tau bagaimana perjuangan ayah bunda dan cinta kami kepadanya. Happy reading :)

Kamis, 23 Februari 2011

Suami berangkat dari Jakarta. Pulang ke Purbalingga setelah 2 minggu sebelumnya mengantarku pulang kampung menjalani masa cuti. Sebenarnya rencana awal mau berangkat Jumat malam, tapi keburu kehabisan tiket kereta. Jadi dia mengambil cuti sehari di hari Jumat dan meluncur ke stasiun Kamis malam sepulang dari kantor.

Jumat, 24 Februari 2011

Sekitar jam 3 dinihari, suami sampai di rumah. Setelah itu, dia beristirahat sampai pagi. Pagi sampai siang hari, kami tidak kemana-mana. Padahal biasanya, setiap pulang kampung kami pantang melewatkan waktu berdiam di rumah. Sayang sekali.

16.30
Aku dan suami baru keluar jalan-jalan. Sebentar saja, hanya putar-putar kota dan membeli mi ayam. Sebelum maghrib, kami sudah sampai kembali di rumah. Sore itu sebenarnya kami juga berencana untuk membeli keperluan dedek yang belum lengkap, seperti bak mandi bayi, alas ompol yang dirasa masih kurang, dll. Tapi karena berangkat terlalu sore, kami berencana untuk berbelanja keesokan harinya saja.

Setelah makan mi ayam, aku merasa tidak enak perut. Sendawa terus menerus rasa mi ayam. Yaiks!! Pengen muntah. Sepanjang sore itu aku terus bilang kalau aku keracunan mi ayam, heheh

Menjelang malam, setelah berbincang-bincang lumayan lama dengan bapak, ibu, om (yang kadang2 suka nginep di rumah sepulang kerja), aku dan suami pun beranjak tidur.

Sabtu, 25 Februari 2012

00.30
Dini hari itu aku terbangun. Kebelet pipis. Tapi malas beranjak dari tempat tidur. Masih dalam posisi tiduran, kuputuskan untuk menahan pipis saja, biar besok pagi saja. Tapi tiba-tiba aku seperti merasa ada yang keluar. Yaahh, ga bisa ditunda lagi pipisnya. Akupun beranjak ke kamar mandi.

Selesai pipis, saat hendak ke ruang tengah, aku merasa ada cairan yang keluar lagi. Kupikir, pipisnya belum tuntas. Akupun kembali ke kamar mandi. Tapi di sana, aku terkejut saat mendapati ternyata cairan itu keluar dengan sendirinya. Mengalir lumayan banyak. Pecah ketuban! Sambil menenangkan diri aku mengetuk-ngetuk pintu kamar ibu. Saat ibu akhirnya membuka pintu, kubilang kalau ketuban sudah pecah. Saatnya ke rumah sakit. Sementara itu, cairan putih bening itu masih mengalir membasahi lantai keramik di bawah. Aku segera ke kamar, membangunkan suami yang segera bangkit dengan kaget. Setelah itu, aku ganti pakaian, sementara cairan itu masih terus mengalir.

Saat itu kami belum mempersiapkan apapun. Kupikir, masih lama perkiraan lahir si dedek, jadi kami belum perlu mempersiapkan keperluan untuk dibawa ke rumah sakit sewaktu-waktu. Ibu malam itu yang menyiapkan segala sesuatunya. Menyiapkan beberapa potong bajuku, baju, popok, perlak, dll bakal keperluan si kecil yang sudah dicuci dan tertata rapi di lemari. Suami memasukkan beberapa potong bajunya ke dalam tas gendongnya. Tak lama kemudian, aku, ibu, dan suami pun segera meluncur ke rumah sakit. Bapak tinggal di rumah. Sementara Om masih tidur. Tidak tahu sama sekali kalau kami keluar.

01.00
Kami sampai di RSIA yang sudah ditetapkan menjadi bakal calon tempat bersalin. Setelah diperiksa bidan segala macam, diputuskan bahwa aku harus menginap. Ketuban sudah merembes, pembukaan masih pembukaan satu tapi sempit, jadi akan dilihat perkembangan sampai keesokan harinya. Dini hari itu, aku diinfus antibiotik untuk menjaga agar ketuban tetap baik-baik saja sampai waktunya nanti diambil tindakan.

09.00
Aku dibawa ke ruang bersalin. Akan segera diambil tindakan pagi itu. Induksi. Saat itu, aku masih tenang, tidak terpikir apa-apa mengenai persalinan. kontraksipun tidak ada. Dalam pikiranku hanya satu, akhirnya, saatnya akan tiba juga. Saat aku akan bertemu dengan buah hati yang selama sembilan bulan menghuni rahimku.

Sementara itu, sebelumnya Ibu sudah dijemput Bapak selepas subuh. Mereka masih harus ngajar. Jadi saat aku dibawa ke ruang bersalin, hanya suami saja yang menemani.

Melalui selang infus, cairan induksi itu masuk sedikit demi sedikit ke dalam tubuh. Aku dan suami berbincang-bincang terus. Belum ada rasa apa-apa. Bidan berpesan, kalau kebelet pipis atau apapun, panggil saja mereka. Nanti saya akan diajari pipis di pispot. Pipis di pispot?? Oohh, tidak! Kedengarannya menjijikkan. Tapi akhirnya aku pipis juga beberapa kali di ruangan itu. Bahkan, sampai di akhir-akhir, tidak hanya pipis, pup juga keluar, hiiyy. Ah, saat itu sudah tidak terpikirkan lagi apa yang keluar dari tubuh. Hehe

Menjelang siang, aku mulai merasakan nyeri, tekanan, rasa sakit di perut bagian bawah. Awalnya biasa saja, tapi semakin lama semakin tekanan itu semakin kencang, semakin sakit, semakin sering, dan semakin lama bertahan. Dari yang awalnya kalimat-kalimat yang keluar adalah: Subhanallah, Masya Allah, Astaghfirullah, Allahu Akbar. Dari yang sebelumnya aku bisa membaca doa "Laa ilaaha illa anta, subhanaka inni kuntu minadz dzolimiin" (doa nabi Yunus saat di perut paus). Sampai akhirnya hanya bisa merintih-rintih, bahkan akhirnya berteriak-teriak. Sungguh sebenarnya aku tidak ingin berteriak-teriak. Sejak awal mempersiapkan diri menghadapi persalinan, aku sudah bertekad tidak berteriak-teriak. Tapi ah, rasa sakit itu semakin menyiksa. Tiada henti. Semua teori tentang teknik pernapasan untuk mengurangi nyeri menguap entah kemana.

Suami di samping terus memberi semangat dan dorongan. Dia nyaris tidak beranjak dari tempat itu. Dia yang memeluk, menguatkan, mencium, menenangkan. Sebaliknya, setiap dipeluk, aku balik memeluknya dg sangat kencang. Tanpa sadar mencakari punggungnya. Selesai persalinan, dia menujukkan punggungnya, dan ya ampun, disana ada bekas cakaran. Seperti orang kerokan!

_to be continued_