Kamis, 12 April 2012

Kisah Kelahiran Raihan (Part I)

Akhirnya mulai menulis lagi, setelah sekian lama vakum lantaran berbagai kesibukan *jadi ibu, memang menyibukkan bukan? ;) Catatan ini dibuat untuk mengenang proses kelahiran Raihan. Sebagai pengingat perjuangan hari itu, saat aku mengantarkan jagoan kecilku melihat dunia. Semoga, suatu hari nanti, Raihan juga bisa membacanya, sehingga dia tau bagaimana perjuangan ayah bunda dan cinta kami kepadanya. Happy reading :)

Kamis, 23 Februari 2011

Suami berangkat dari Jakarta. Pulang ke Purbalingga setelah 2 minggu sebelumnya mengantarku pulang kampung menjalani masa cuti. Sebenarnya rencana awal mau berangkat Jumat malam, tapi keburu kehabisan tiket kereta. Jadi dia mengambil cuti sehari di hari Jumat dan meluncur ke stasiun Kamis malam sepulang dari kantor.

Jumat, 24 Februari 2011

Sekitar jam 3 dinihari, suami sampai di rumah. Setelah itu, dia beristirahat sampai pagi. Pagi sampai siang hari, kami tidak kemana-mana. Padahal biasanya, setiap pulang kampung kami pantang melewatkan waktu berdiam di rumah. Sayang sekali.

16.30
Aku dan suami baru keluar jalan-jalan. Sebentar saja, hanya putar-putar kota dan membeli mi ayam. Sebelum maghrib, kami sudah sampai kembali di rumah. Sore itu sebenarnya kami juga berencana untuk membeli keperluan dedek yang belum lengkap, seperti bak mandi bayi, alas ompol yang dirasa masih kurang, dll. Tapi karena berangkat terlalu sore, kami berencana untuk berbelanja keesokan harinya saja.

Setelah makan mi ayam, aku merasa tidak enak perut. Sendawa terus menerus rasa mi ayam. Yaiks!! Pengen muntah. Sepanjang sore itu aku terus bilang kalau aku keracunan mi ayam, heheh

Menjelang malam, setelah berbincang-bincang lumayan lama dengan bapak, ibu, om (yang kadang2 suka nginep di rumah sepulang kerja), aku dan suami pun beranjak tidur.

Sabtu, 25 Februari 2012

00.30
Dini hari itu aku terbangun. Kebelet pipis. Tapi malas beranjak dari tempat tidur. Masih dalam posisi tiduran, kuputuskan untuk menahan pipis saja, biar besok pagi saja. Tapi tiba-tiba aku seperti merasa ada yang keluar. Yaahh, ga bisa ditunda lagi pipisnya. Akupun beranjak ke kamar mandi.

Selesai pipis, saat hendak ke ruang tengah, aku merasa ada cairan yang keluar lagi. Kupikir, pipisnya belum tuntas. Akupun kembali ke kamar mandi. Tapi di sana, aku terkejut saat mendapati ternyata cairan itu keluar dengan sendirinya. Mengalir lumayan banyak. Pecah ketuban! Sambil menenangkan diri aku mengetuk-ngetuk pintu kamar ibu. Saat ibu akhirnya membuka pintu, kubilang kalau ketuban sudah pecah. Saatnya ke rumah sakit. Sementara itu, cairan putih bening itu masih mengalir membasahi lantai keramik di bawah. Aku segera ke kamar, membangunkan suami yang segera bangkit dengan kaget. Setelah itu, aku ganti pakaian, sementara cairan itu masih terus mengalir.

Saat itu kami belum mempersiapkan apapun. Kupikir, masih lama perkiraan lahir si dedek, jadi kami belum perlu mempersiapkan keperluan untuk dibawa ke rumah sakit sewaktu-waktu. Ibu malam itu yang menyiapkan segala sesuatunya. Menyiapkan beberapa potong bajuku, baju, popok, perlak, dll bakal keperluan si kecil yang sudah dicuci dan tertata rapi di lemari. Suami memasukkan beberapa potong bajunya ke dalam tas gendongnya. Tak lama kemudian, aku, ibu, dan suami pun segera meluncur ke rumah sakit. Bapak tinggal di rumah. Sementara Om masih tidur. Tidak tahu sama sekali kalau kami keluar.

01.00
Kami sampai di RSIA yang sudah ditetapkan menjadi bakal calon tempat bersalin. Setelah diperiksa bidan segala macam, diputuskan bahwa aku harus menginap. Ketuban sudah merembes, pembukaan masih pembukaan satu tapi sempit, jadi akan dilihat perkembangan sampai keesokan harinya. Dini hari itu, aku diinfus antibiotik untuk menjaga agar ketuban tetap baik-baik saja sampai waktunya nanti diambil tindakan.

09.00
Aku dibawa ke ruang bersalin. Akan segera diambil tindakan pagi itu. Induksi. Saat itu, aku masih tenang, tidak terpikir apa-apa mengenai persalinan. kontraksipun tidak ada. Dalam pikiranku hanya satu, akhirnya, saatnya akan tiba juga. Saat aku akan bertemu dengan buah hati yang selama sembilan bulan menghuni rahimku.

Sementara itu, sebelumnya Ibu sudah dijemput Bapak selepas subuh. Mereka masih harus ngajar. Jadi saat aku dibawa ke ruang bersalin, hanya suami saja yang menemani.

Melalui selang infus, cairan induksi itu masuk sedikit demi sedikit ke dalam tubuh. Aku dan suami berbincang-bincang terus. Belum ada rasa apa-apa. Bidan berpesan, kalau kebelet pipis atau apapun, panggil saja mereka. Nanti saya akan diajari pipis di pispot. Pipis di pispot?? Oohh, tidak! Kedengarannya menjijikkan. Tapi akhirnya aku pipis juga beberapa kali di ruangan itu. Bahkan, sampai di akhir-akhir, tidak hanya pipis, pup juga keluar, hiiyy. Ah, saat itu sudah tidak terpikirkan lagi apa yang keluar dari tubuh. Hehe

Menjelang siang, aku mulai merasakan nyeri, tekanan, rasa sakit di perut bagian bawah. Awalnya biasa saja, tapi semakin lama semakin tekanan itu semakin kencang, semakin sakit, semakin sering, dan semakin lama bertahan. Dari yang awalnya kalimat-kalimat yang keluar adalah: Subhanallah, Masya Allah, Astaghfirullah, Allahu Akbar. Dari yang sebelumnya aku bisa membaca doa "Laa ilaaha illa anta, subhanaka inni kuntu minadz dzolimiin" (doa nabi Yunus saat di perut paus). Sampai akhirnya hanya bisa merintih-rintih, bahkan akhirnya berteriak-teriak. Sungguh sebenarnya aku tidak ingin berteriak-teriak. Sejak awal mempersiapkan diri menghadapi persalinan, aku sudah bertekad tidak berteriak-teriak. Tapi ah, rasa sakit itu semakin menyiksa. Tiada henti. Semua teori tentang teknik pernapasan untuk mengurangi nyeri menguap entah kemana.

Suami di samping terus memberi semangat dan dorongan. Dia nyaris tidak beranjak dari tempat itu. Dia yang memeluk, menguatkan, mencium, menenangkan. Sebaliknya, setiap dipeluk, aku balik memeluknya dg sangat kencang. Tanpa sadar mencakari punggungnya. Selesai persalinan, dia menujukkan punggungnya, dan ya ampun, disana ada bekas cakaran. Seperti orang kerokan!

_to be continued_

17 komentar:

  1. pas banget an ada bapaknya

    nungguuuw lanjutannyah

    BalasHapus
  2. mb..detail banget, ikut deg2an bacanya. hehe
    ga sabar nih nunggu kelanjutan ceritanya :D

    BalasHapus
  3. duhhh kok bersambung..masih anteng bacanya..

    BalasHapus
  4. Mataku kok jadi berkaca kaca ya An :)

    Selamat ya Andiah atas kelahiran Raihan..
    Bahagia ya rasanya meski sakitnya sampe 57del, sama seperti tulang tubuh yg diretakkan secara serempak..Subhanallah...hebat ya perempuan.

    Btw, Andiah udah pindah ke Ciledug belum? Pengen liat baby Raihan :)

    BalasHapus
  5. di awal kok tanggalnya bertahun 2011? hehe

    btw saat pulang naik KA ke kampung halaman tu saat usia kandungan brp bulan Mbak?

    BalasHapus
  6. nanya lagi, saat menentukan RS utk lahiran tu kita sebelumnya ke sana dulu atau langsung aja gtu?

    BalasHapus
  7. Diah mau nulis tapi kaga' jadi2, hehe

    BalasHapus
  8. alhamdulilllah abang g sampai di cakar2 ama istri pas lahiran kemarin..cuma digigit doang :D

    BalasHapus
  9. hihihi... jadi ikutan mengenang.. ayo, tulis lagiiii...

    BalasHapus
  10. 2 kali melahirkan, alhamdulillah, masih bisa bertahan tidak teriak-teriak, keduanya induksi.

    kalo dah keluar dedeknya, lega ya mbak... barokalloh atas amanah barunya...

    BalasHapus
  11. (Ikutan curcol yaaa)
    Selisih brp hari ya kita :D almost 3 weeks ya mba kl ngga  salah itung :D
    Anakku lahirnya 18 maret kmrn mba.
    الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِي anak ke-2, laki-laki, subhanallah sakitnya lbh dahsyat dr anak pertama, tp lancar dan cepet prosesnya :)
    Ngga  pake teriak2, الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِي msh inget الله.
    Suami jg mendampingi, tangannya aja yg aku remes2 dr awal sampe akhir.

    Selamat ya mba, barakallah.
    Smg putranya menjadi anak sholeh, penyejuk hati ayah bunda nya :*
    Halo Raihan, salam kenal ya dari Maliq

    BalasHapus
  12. aduh, amazing banget pasti mbak ya rasanya..
    *aku pernah ngeliat proses kelahiran dan itu bikin aku nangis.. T__T

    BalasHapus
  13. berarti masih kalem aku donk pas ngelahirin, hahaha.... yg nyakar suami itu pas dijahit...

    BalasHapus
  14. whew, jadi inget pernah nulis model gini, tapi ini lebih seru, krn dari sudut pandang pelaku (istri), bukan pengamat (suami)... :D

    BalasHapus